Pukul 11 malam..saat film selesai, semua riuh bertepuk tangan, pasangan disebelah kami sibuk berkomentar tentang bagusnya film ini. Saya, huf... saya malah menangis sejadi-jadinya, meletakan kepala saya pada bahu suami yang duduk di sebelah kiri saya, dan melepaskan semua kesedihan yang (ternyata) masih tertahan di dada saya.
Kembali saya bertanya pada diri saya sendiri. Hey yu, whats going on? is Everythings fine?
Sepanjang film, saya berkali-kali menahan nafas dalam, sembari membuka mata selebar mungkin, agar air yang sedikit membendung di ujung-ujung mata, tidak jatuh membasahi pelupuk mata. Saat akhirnya nafas itu tak dapat tertahan, saya hembuskan sekuat mungkin, yang (mungkin) sesekali membuat suami saya bingung karena istrinya sedikit tegang, terlalu menghayati atau terlalu serius menonton film ini. But Damn, I am so thankfull about my life after we finish this movie.
***
Hari ke tujuh pemutaran film Ada Apa Dengan Cinta ke 2, saya yang selalu kehabisan tiket sejak hari pertama bertekad, harus dapat tiket film ini, bagaimanapun caranya. Pukul 1 siang, saya menuju Braga City Walk, dan shock karena masih melihat antrian mengular panjang. Pasangan muda-mudi, serta barisan anak-anak laki-laki, terlihat jelas akan menonton film apa sajakah mereka. Huhhhh, ada apa dengan civil war? ada apa dengan cinta? Animo masyarakat begitu tinggi akan kedua film ini. 14 tahun yang lalu, saya gak ada beban sama sekali untuk mendapatkan tiket film Ada Apa Cinta yang pertama dengan Abet. Kami datang, membeli tiket, membeli popcorn, lalu masuk studio untuk menikmati filmnya. Tidak ada diantara kami yang 'ngedumel' karena harus mengantri tiket, ya jelas aja sih, we are two people who falling in love.
Saya gak berhenti tersenyum di area bioskop, rasanya seperti akan bertemu dengan Abet, rasanya seakan-akan dia ada disana, rasanya dia menunggu saya didalam. its weird yes, absolutely and I cannot resist this feeling. Dan semua yang berkeliaran di kepala ini terbukti. Saya merasakan diam-nya Abet, kemarahannya, kekecewaannya, dan senyum yang mengembang sejak siang tadi berganti kegelisahan yang luar biasa pedih. Terbayang kembali sulitnya kami dulu berjuang untuk cinta yang terhalang oleh habbit yang membuat kedua orangtua meragukan hubungan ini.
They never know how both of us struggle with his drug addiction, Saya tahu orangtua-nya merasakan kegelisahan yang sama. tapi saya, 4 tahun yang tidak mudah untuk mencintai seorang yang juga sangat mencintai Habbit nya, dan dengan segala upaya memahami bahwa jauh di balik bayang-bayang heroin, he is a good one, a good man. Abet memperkenalkan saya dengan banyak hal baru yang gak pernah saya miliki. Kecintaannya pada lingkungan dan alam semesta, mengajakku untuk mengenal sosoknya yang lain. Pria yang marah jika saya memetik daun atau bunga ini, atau jika saya membuang sampah sembarangan. He dare me to be a new person, seseorang yang tidak egois, tidak hanya memikirkan diri sendiri.
Mencintai seseorang dari balik jeruji besi dan dinginnya ruang penjara. Yup, its all because of drugs, dan usia saya masih sangat muda saat Abet tertangkap tangan sedang membeli paket heroin di daerah Bintaro. 12 Bulan yang begitu menyeramkan dalam hidup saya, berdiri diantara keinginan untuk melupakan sosoknya, atau jadi seseorang yang akan terus ada di sampingnya. Tapi semua surat-suratnya dari balik jeruji besi menguatkan kami. Membuatku tetap merasakan kehadirannya, dalam masa remaja ku yang begi kebanyakan orang sangat menyedihkan. Hubungan ini bukan permainan, ada pesan besar dalam hidup yang tersampaikan melalui kehadirannya. Tentang bagaimana mencintai tanpa syarat dan bagaimana Cinta tidak pernah berdusta.
Langkah kaki kami terdengar ramai dalam heningnya kota Bandung menjelang pukul 12 malam. kami sama sekali tidak membicarakan film Ada Apa Dengan Cinta, Febby lebih banyak membicarakan tentang kota Bandung dan hal-hal lain di luar film. Saya, juga tidak banyak bercerita. Jemari kecil saya menyeka air mata yang tersisa di pipi hingga kering. Tarikan nafas satu-satu sembari melangkahkan kaki ini terasa lebih ringan, sampai Febby menggengam tanganku. Tanpa bicara, dia seperti menyampaikan bahwa apapun yang terjadi di masa yang lalu, di hari kemarin, kedua tangannya akan siap menyambut kami untuk menggapai birunya langit dan menikmati deburan ombak yang mungkin cukup kencang menghadang.
Malam itu saya kembali meng-ikhlas-kan Abet, yang telah pergi lebih dari dua ribu hari silam. Yang menguatkan kami melalui setiap kenangan-kenangan dan segala kebaikan yang ada dalam dirinya.
Saya gak berhenti tersenyum di area bioskop, rasanya seperti akan bertemu dengan Abet, rasanya seakan-akan dia ada disana, rasanya dia menunggu saya didalam. its weird yes, absolutely and I cannot resist this feeling. Dan semua yang berkeliaran di kepala ini terbukti. Saya merasakan diam-nya Abet, kemarahannya, kekecewaannya, dan senyum yang mengembang sejak siang tadi berganti kegelisahan yang luar biasa pedih. Terbayang kembali sulitnya kami dulu berjuang untuk cinta yang terhalang oleh habbit yang membuat kedua orangtua meragukan hubungan ini.
They never know how both of us struggle with his drug addiction, Saya tahu orangtua-nya merasakan kegelisahan yang sama. tapi saya, 4 tahun yang tidak mudah untuk mencintai seorang yang juga sangat mencintai Habbit nya, dan dengan segala upaya memahami bahwa jauh di balik bayang-bayang heroin, he is a good one, a good man. Abet memperkenalkan saya dengan banyak hal baru yang gak pernah saya miliki. Kecintaannya pada lingkungan dan alam semesta, mengajakku untuk mengenal sosoknya yang lain. Pria yang marah jika saya memetik daun atau bunga ini, atau jika saya membuang sampah sembarangan. He dare me to be a new person, seseorang yang tidak egois, tidak hanya memikirkan diri sendiri.
Baca Juga : Dimana Cinta Setelah 14 Tahun?
Mencintai seseorang dari balik jeruji besi dan dinginnya ruang penjara. Yup, its all because of drugs, dan usia saya masih sangat muda saat Abet tertangkap tangan sedang membeli paket heroin di daerah Bintaro. 12 Bulan yang begitu menyeramkan dalam hidup saya, berdiri diantara keinginan untuk melupakan sosoknya, atau jadi seseorang yang akan terus ada di sampingnya. Tapi semua surat-suratnya dari balik jeruji besi menguatkan kami. Membuatku tetap merasakan kehadirannya, dalam masa remaja ku yang begi kebanyakan orang sangat menyedihkan. Hubungan ini bukan permainan, ada pesan besar dalam hidup yang tersampaikan melalui kehadirannya. Tentang bagaimana mencintai tanpa syarat dan bagaimana Cinta tidak pernah berdusta.
***
Langkah kaki kami terdengar ramai dalam heningnya kota Bandung menjelang pukul 12 malam. kami sama sekali tidak membicarakan film Ada Apa Dengan Cinta, Febby lebih banyak membicarakan tentang kota Bandung dan hal-hal lain di luar film. Saya, juga tidak banyak bercerita. Jemari kecil saya menyeka air mata yang tersisa di pipi hingga kering. Tarikan nafas satu-satu sembari melangkahkan kaki ini terasa lebih ringan, sampai Febby menggengam tanganku. Tanpa bicara, dia seperti menyampaikan bahwa apapun yang terjadi di masa yang lalu, di hari kemarin, kedua tangannya akan siap menyambut kami untuk menggapai birunya langit dan menikmati deburan ombak yang mungkin cukup kencang menghadang.
"Kau memori terindah tak kudugaKini Engkau datang lagiAndaikan menit bisa berhentiWaktu tak berjalan"
Malam itu saya kembali meng-ikhlas-kan Abet, yang telah pergi lebih dari dua ribu hari silam. Yang menguatkan kami melalui setiap kenangan-kenangan dan segala kebaikan yang ada dalam dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar