Sejak bulan Mei 2016, saya sudah resmi tidak bekerja di NGO yang menjadi rumah saya selama 3 tahun terakhir, Indonesia AIDS Coalition. Bukan karena tidak cocok, bukan karena ada masalah, dan bukan karena hal-hal yang bersifat relasi pekerjaan, namun itu semua karena saya kini memiliki tanggung jawab sebagai koordinator nasional Ikatan perempuan Positif Indonesia (IPPI). Semua itu terjadi, karena pada bulan Maret lalu tepatnya tanggal 20, Koordinator kami yang sebelumnya Christine meninggal dunia.
Hal itu bukan hanya mengejutkan semua pihak, namun saya secara pribadi (yang saat itu menjabat sebagai dewan nasional di organisasi) kemudian harus memikirkan exit strategy untuk menyelamatkan organisasi. Lantas kemudian dipilihlah saya menjadi pengganti almarhumah, dan berkantor di Rawamangun. Disanalah kehidupan baru, serta titipan-titipan baru harus saya kelola dengan bijak.
Dalam proses perubahannya, ritme hidup dan pekerjaan saya pun berubah seiring dengan masuknya hal-hal baru. Pertama saya harus menyelesaikan semua urusan pekerjaan saya di tempat yang lama, termasuk mengembalikan seluruh aset kantor, yang sudah lama saya gunakan untuk bekerja. Semestinya saya tidak perlu sedih saat mengembalikan semuanya, toh itu juga bukan milik saya, dan saya akan mendapat gantinya.
Namun, ada terbesit dalam hati kecil saya akan rindu dengan segala aktifitas menjadi campaigner yang bergelut dengan urusan teknis kampanye. Saya harus pahami bahwa sesungguhnya pekerjaan saya hanyalah titipan amanah yang harus saya emban, selama masa kontrak berlaku. Semua sudah semestinya saya jaga, dan pelihara. bukan hanya barang-barangnya saya, tapi amanah dan tanggung jawab dari pekerjaan tersebut.
Selain perpindahan ritme kerja, kehidupan pun seperti bola yang berputar. Entah kemana sang waktu akan membawa langkah saya. Kini saya berkantor di Jakarta, meninggal keluarga di Bandung setiap hari senin hingga kamis. Rutinitas domestik dan kesenangan-kesenangan menjadi apapun di Bandung hilang dalam sekejap. Saya tidak bisa lagi bersantai-santai menikmati matahari pagi sembari menggantungkan pakaian yang sudah saya cuci pada tiang jemuran. Saya tidak lagi, menunggu pukul 2.30 siang untuk menjemput Malika di sekolah. Dan ini meruapakan 3 minggu awal yang sangat berat.
Saya harus belajar (lagi) makna titipan sebenar-benarnya. Sekali lagi bukan hanya titipan barang. Namun titipan amanah, berupa tanggung jawab baru sebagai seorang koordinator dari jaringan nasional perempuan, serta menjaga titipan Allah, untuk tetap menjaga, memelihara serta mencintai anak dan pernikahan saya. Membagi tubuh di 2 kota, membagi hati di pada setiap sekat-sekat amanah yang tidak boleh terlupakan. Rutinitas membagi pikiran antara memikirkan hal-hal strategis bagi organisasi, sampai mengingat jadwal minum obat diri sendiri, sampai mengingatkan diri sendiri untuk tidak lupa mencintai diri sendiri.
Ah Tuhanku, apalah arti hidupku ini, bilamana tak mampu mengelola dan memanage semua titipan-Mu ini. Berikan aku kekuatan ya Rabb..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar