sumber : pexels.com |
Rekan: Hallo, yu.. Apa kabar? Saya Mau me-refer dampingan.
Dia
sudah bersedia untuk dibantu akses dan diberikan konseling.
Saya: Baik
Mas, ok kalo gitu kita Janjian aja di Rumah sakit ya.
Rekan: Thank you yah! Dia sudah tahu status sejak
2007
dan baru kembali berobat sekarang. Mohon bantuannya ya Yu!
Saya: Siapp! Sampe ketemu ya!
Lalu saya menutup telfon
dan segera berangkat menuju rumah sakit rujukan di Jakarta Selatan. Sesampainya
disana saya bertemu dengan rekan saya sesama petugas lapangan, hanya saja kami
berbeda lembaga. Lembaga-nya bergerak di penjangkauan untuk beberapa factor
resiko khusus seperti untuk HRM (High Risk Man/Laki-laki beresiko tinggi), Waria,
gay, WPS (Wanita Pekerja Seks). Sedangkan lembaga tempat saya bekerja, hanya
mendampingi teman-teman yang sudah terinfeksi HIV apapun factor resikonya
termasuk IDU (Injection Drug User/Pengguna Jarum sunti) dan pasangannya, juga
anak-anak yang terinfeksi HIV.
Saat kami bertemu, rupanya
rekan saya ini sedang bersama pacar si klien. Sedangkan si klien sendiri sedang
ke laboratorium untuk tes konfirmasi HIV. Sambil menunggu kedatangannya, saya
berbincang – bincang dengan rekan saya dan pacar klien saya. Si pacar
bercerita, bahwa si Ane (bukan nama sebenarnya) dulu pernah punya pacar dan
mereka sering berhubungan seks. Tanpa menyadari status pacarnya yang dulu,
seiring berjalannya waktu Ane dan pacarnya pun putus. Selang berapa lama dari
putusnya hubungan mereka, Ane mendengar kabar bahwa sang pacar adalah ODHA
(Orang dengan HIV Positif). Karena panik, Ane-pun langsung memeriksakan diri
dengan melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing). Dan hasilnya Reaktif.
Picture by Google.com |
Singkat cerita di 2007,
Ane menyadari bahwa diri-nya harus menjalani oengobatan intensif yaitu dengan
terapi ARV (Anti Retro Viral). Tak lama kemudian si Ane yang sedari tadi
dibicarakan pun datang. Dan saat kami bersalaman, saya melihat Ane yang
dihadapan saya adalah teman semasa sekolah. Lemas rasanya, begitupun dia yang
terlihat pucat pasi saat menyadari saya yang menjadi konselor-nya. Untuk
mengurangi ketegangan, saya tidak langsung ngonrol ke pokok permasalahan. Tapi
saya mencoba bertanya kabarnya, apa aktifitasnya sekarang dan lain-lain. Sampai
akhirnya dia bercerita tantang status HIV-nya. Karena masih menunggu beberapa
pemeriksaan laboratorium, Ane yang kebetulan sudah berkonsultasi dengan dokter
menyampaikan bahwa dia harus kembali ke kantor. Dan kami pun bertukar nomor
telfon.
Sangat memprihatinkan.
Benar seperti apa yang pernah saya tulis di artikel saya sebelumnya. HIV bukan issu dunia, dia adalah tetangga
kita. Ane yang saya temui adalah teman semasa sekolah. Bukan subjeknya yang
kita bicarakan, melainkan perspektif seseorang mengenai HIV harus semakin
dirubah. Bahwa sebenarnya, HIV bias ada pada siapa saja yang juga tanpa sadar
memiliki perilaku berresiko. Dan peran serta dukungan keluarga terdekat serta
lingkungan sekitar akan sangat berarti. Dan bila masyarakat berperan serta
dengan merubah perspektif dan sudut pandangnya tentang HIV/AIDS maka harapan
saya angka kematian pada ODHA akan menurun karena segera tertangani dan angka
penyenarannya pun akan bisa ditekan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar