Dengan alasan bertahan hidup, hari ini aku memutuskan untuk kembali menjadi penumpang Transjakarta.
Setelah seharian berada di ruangan ber-AC dengan beberapa orang, waktu kerjaku hari ini akhirnya berakhir. Aku sedikit bingung karena hanya memegang uang tunai sebesar dua puluh ribu rupiah pemberian suamiku kemarin. Uang di rekening masih ada untuk mengisi saldo ojek online namun rasanya aku ingin menguatkan tekadku untuk berhemat selama berada di Jakarta. Lalu aku melihat kartu penyimpanan uang elektronik yang sudah dengan sadar kugantungkan di landyard. Oke, kita naik Transjakarta!
Posisiku sore tadi ada di Jl Kudus, sekitar satu kilometer dari halte Transjakarta Dukuh atas. Aku berjalan kaki dengan langkah santai sembari mengagumi pakaian kerja orang-orang yang juga lalu lalang di area Dukuh Atas. "gw jadi anak Jakarta lagi!" batinku sembari terkekeh. Yang padahal, aku sudah jadi anak Jakarta kurang lebih 2,5 tahun lamanya semenjak terpilih menjadi Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia.
Langkahku terhenti di atas jembatan yang menghubungkan antara pedestrian dengan halte Dukuh Atas, aku memandangi patung Jendral Sudirman yang tegak berdiri dalam pose hormat. Aku yakin bahkan Jendral Sudirmanpun menaruh hormat kepada seluruh pekerja di Jakarta yang gigih bertarung melalui semua kemacetan, penuhnya bus, kereta dan moda transportasi lainnya; dan semua itu dilakukan mereka dengan alasan yang sama denganku, bertahan hidup.
Sejujurnya, hingga pertemuanku dengan Jendral Sudirman di atas jembatan; aku masih belum yakin bus nomer berapa yang akan aku naiki untuk bisa tiba di Halte persis di depan kantorku. Lalu aku ingat kata-kata staff dan team ku di kantor, "naik aja bu ke haltenya, nanti pasti bisa diarahkan ke semua tujuan." Maka dengan bermodalkan kenekatan tersebut aku mempercepat langkahku menuju Halte Dukuh atas.
Pria berseragam biru yang tentunya adalah pegawai transjakarta berdiri lelah di tempat penumpang meletakan kartu tanda kita sudah masuk area bus. "Mas, kalau saya mau ke Bidaracina; nanti naik bus nomor berapa?" tanyaku sambil mengatur napas karena ngos-ngos-an naik tangga dan berjalan satu kilo. "Silahkan masuk dulu, nanti naik bus nomor 4 arah Pulogadung, turun di Matraman. Dari Matraman lanjut naik 5C arah PGC, ibu turun di Bidaracina." Jawab pria tersebut dengan jelas.
Aku melanjutkan langkahku dengan senyum menyeringai dan rasa bangga "yes, gw bener bener jadi anak Jakarta lagi". Tapi nyaliku sempat menciut saat melihat barisan orang memenuhi jalur bus nomor 4 tujuan Pulogadung. "Ayo silahkan persiapan tujuan Pulogadung, hati hati melangkah, jaga barang bawaan anda jangan sampai tertinggal, terjatuh atau berpindah tangan.". Lantas semua orang masuk berdesakkan. Aku berfikir cepat, "naik gak ya?" karena sekelebat aku melihat bus dengan nomor dan tujuan yang sama di belakang bus yang masih kosong. "Ayo silahkan yang buru buru, naik perlahan lahan, TUJUAN PULOGADUNG!" suara petugas di sekitar bus semakin kencang dan aku putuskan untuk naik bus di belakang.
Pintu bus menutup, tubuuhku terdorong ke depan oleh barisan penumpang di belakangku tanda kita harus bergeser karena akan bersiap siap naik ke bus selanjutnya. Wow, aku panik dengan gerakan tiba-tiba yang membuat kami kemudian terbawa arus masuk ke dalam bus. Aku bergegas mencari bangku kosong dan duduk di sana. Ku hela nafas panjang, Alhamdulillah dapat duduk sampai Pulogadung.
Aku mengeluarkan earpod dan menyematkannya di kedua kuping, kemudian akun spotify menjadi tujuan selanjutnya ku cari lagu dari Goo goo Dolls berjudul Slide. Aku tekan tombol Play, suara John Rzeznik yang serak-serak basahnya hampir mirip dengan Bryan Adams mengalun di kupingku. kemudian aplikasi Whatsapp ku tekan, mengabari suamiku di Bandung "Saya sudah di Transjakarta ya, Alhamdulillah kalau naik dari Halte utama busnya kosong. Aku dapat duduk." dia membalas dengan jawaban "Alhamdulillah, bisa berhemat. Yasudah hati-hati".
Bus kemudian berangkat. Senyumku berpendar sepanjang jalan, sembari mendengarkan musik secara acak aku kembali mengagumi kegigihan orang - orang di Jakarta dan malah menyadari satu hal yang sedari tadi aku tiba di halte Dukuh Atas tidak kulakukan. Semua orang masih mengenakan masker, aku tidak; dengan sadar aku tidak menggunakan masker karena presiden Joko Widodo sudah mengijinkan kita tidak menggunakan masker di kendaraan publik termasuk bus, kereta api dan pesawat. Yang kedua, semua orang meletakkan tas ranselnya di bagian depan tubuh; sementara aku asik menggembol di punggung tanpa khawatir akan ada maling atau copet yang akan mengambil barang-barangku. Aku lantas mentertawakan diri dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Tidak terasa bus sudah sampai di Manggarai, satu halte sebelum tiba tujuanku Matraman. Bus masih penuh sesak, orang - orang yang turun digantikan oleh orang - orang yang naik. Aku lalu melihat sepasang lansia, sang pria berambut putih terlihat lebih tua daripada sang perempuan; keduanya memasuki bus dengan langkah sigap tidak loyo sama sekali. Sang pria menggandeng tangan sang perempuan dan keduanya lantas diberikan duduk oleh dua perempuan muda di barisan tengah. Saya kembali tersenyum.
"Next Stop Halte Matraman.." Tidak terasa tujuan pertamaku tiba. Aku bergegas berdiri dan menunggu di depan pintu sebelum bus berhenti dengan sempurna. Kulangkahkan kaki hati hati sesaat setelah pintu terbuka, mataku langsung tertuju pada pedang roti dan kue-kue basah di area Halte Matraman. Mataku langsung mencari bentuk roti yang familiar dan mengundang seleraku sambil menimbang - nimbang uang selembar dua puluh ribuan di dalam kantong.
"Mas, donatnya berapa?" tanyaku sambil mengambil donat mesis berbungkus plasti, aku sudah membayangkan rasanya saat masuk ke mulutku nanti. "Lima ribu neng", aku serahkan dua puluh ribu dengan desain terbaru dan abang tukang roti memberi tiga lembar lima ribuan. "Makasih yak", ucapnya. Sebuah kata yang hangta dan tulus, menemani perjalanan soreku. Setelah memasukkan sebungkus donat mesis ke dalam tas dan memastikan resletingnya sudah tertutup rapat; aku lantas celingukan mencari tahu aku harus kemana.
Perempuan berkerudung dengan seragam yang menandakan kembali dia adalah pegawai transjakarta kuhampiri untuk mencari jawaban "Kalau mau ke Bidaracina kemana ya?" dia menjawab dengan tegas "Lewat sini, nanti naik 5C yang ke arah PGC ya." begitu katanya. Aku menaiki jembatan dan bergegas ke pintu yang sudah ada bus dengan pintu terbuka. Aku bertanya pada seorang perempuan di pintu "ini 5C ya mbak?" dia malah menjawab "Iya, PGC!" sambil tertawa, aku masuk ke dalam bus. Gak nyambung sih, tapi sesuai dengan jawaban yang kuharapkan.
Kali ini aku tidak dapat bangku kosong untuk duduk, tapi bus tidak terlalu sesak sehingga aku masih bisa menikmati perjalanan pulang yang kali ini diiringi oleh Dewa 19, Hitam Putih. Saat itu Ahmad Dhani belum semenyebalkan sekarang Imagenya, belum menceraikan Maia Estianty dan tidak berselingkuh dengan Lead Vocalist mantan istrinya tersebut. Aku mengingat deretan lagu lagu dalam album Dewa 19 mulai dari Terbaik-terbaik dan Pandawa Lima rasanya ini yang paling kusuka dan paling kuhapal. Lantas aku mengganti playlistku ke album Pandawa lima dan memilih lagu Aku Disini Untukmu.
Bus berhenti di halte Transjakarta Bidaracina. Halte yang kini menjadi saksi perjalananku berangkat dan pulang, halte yang selalu menjadi acuan titik jemput atau titik antar setiap kali aku akan menaiki taksi atau kendaraan online. Kuucapkan terima kasih pada diriku hari ini, pada Transjakarta, pada kartu uang elektronik pemberian Moses pada saat IBL di Bandung dan pada Tukang Gorengan yang masih setia menunggu di depan gang.
"Bang, goceng. 2 Cireng, 1 risol, sama 1 Tahu", meskipun kemudian aku menyesal harusnya aku beli aja cireng semua. Dan 3.500 kini menjadi nominal favoritku, karena itu harga yang kemudian kubayar untuk sampai kembali ke Bidaracina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar