Saya tidak pernah lupa saat Tina pertama kali mengetuk pintu rumah kami di Bukit Pamulang Indah 12 tahun lalu. Rambutnya panjang, tubuhnya tinggi kurus. Dia datang sendiri, dengan sebuah mobil kijang kotak jaman dulu berwarna biru kalau saya tidak salah ingat. Saya memandang Tina dengan tatapan setengah tidak percaya, dan itu wajar. Karena siapa yang bisa kupercaya saat itu, informasi mengenai HIV dan AIDS yang kumiliiki, nol besar.
Malam hari sebelum pertemuanku dengannya, Abet baru mendapatkan diagnose HIV di RS Puri Cinere. Sayangnya dia tidak bisa mendapatkan perawatan di sana karena di th 2009 tidak banyak rumah sakit yang memahami penanganan pasien HIV. Kami pulang paksa, dan aku bingung setengah mati. Tapi kemudian Tina datang.
Dia mengaku bahwa dirinya adalah junkie, persis seperti Abet. Pakai putauw, disuntikkan dan kecanduan. Meskipun begitu, Tina tidak pernah memakai putauw bersama Abet. Dia tau Abet, junkie dari Blok F. Tina kalau tidak salah anak Blok C. Selain mengakui dirinya adalah Junkie, dia juga mengaku bahwa dirinya terinfeksi HIV. Sama seperti Abet dan saya. Tatapan tidak percayaku padanya runtuh mendengar pengakuannya. Posisi dudukku berubah dan aku mendengarkan nasihatnya.