Hidup dengan HIV tentunya tidak pernah menjadi pilihan setiap orang. Beberapa orang terinfeksi karena memiliki aktifitas seksual yang tidak aman, beberapa lainnya menggunakan narkoba suntik secara bergantian tapi ada banyak juga yang tidak tahu bahwa dirinya berada dalam lingkaran resiko; yakni para ibu rumah tangga yang tertular dari pasangannya. Kesemuanya memiliki bayang – bayang yang sama, setelah dokter menyampaikan diagnosa HIV kepada mereka. Itu adalah stigma dan diskriminasi.
Ketakutan itu nyata, karena stigma dan diskriminasi secara tidak sadar telah menjadi bagian dari diri masyarakat Indonesia. Anggapan bahwa HIV adalah vonis kematian, bahwa orang yang terinfeksi HIV adalah aib bagi keluarga dan masyarakatnya, serta seseorang yang terinfeksi HIV tidak lagi layak mendapatkan hak yang sama untuk hidup karena ia menular dan berbahaya.
Tanpa kita sadari, stigma inilah yang kemudian membunuh orang dengan HIV secara perlahan; bukan virusnya. Stigma membuat kami takut untuk datang ke layanan kesehatan, takut untuk menjadi diri sendiri, takut untuk pulih dan mengkonsumsi Anti Retroviral secara teratur. Karena apalah artinya sehat saat kami tidak bisa kembali menjadi bagian dari masyarakat. Stigma dan diskriminasi sangat nyata dan lebih berbahaya dari pada virus HIV itu sendiri. HIV memang membuat kekebalan tubuh kami melemah dan menjadi rentan akan segala jenis penyakit. Namun Stigma diskriminasi memiskinkan kami, membuat kami tidak mampu dan kehilangan kehidupan.