Kenapa aku mesti terjebak dalam
situasi sulit seperti ini. Bukankah harusnya aku saat ini sibuk belajar dan
menikmati masa sekolahku. Bukankah menjadi ketua OSIS adalah hal yang sulit dan
butuh konsentrasi untuk mengelola organisasi sekolah ini. Tidak tidak… nyatanya
aku memang tidak pernah menyukai instansi pendidikan ini. Mulai sejak kecil
hingga saat ini aku merasa ini hanya formalitas dan darma baktiku pada kedua
orangtuaku. Aku tidak pernah menyukai sekolah meskipun aku menyukai teman teman
dan cerita cerita yang terjadi di sini.
Sekarang aku sama sekali tidak pernah
memikirkan sekolah. Aku hanya berangkat dan kembali lagi ke rumah seperti rutinitas
yang tak bernyawa. Aku tetap bersenandung dan tersenyum sepanjang perjalananku
namun aku tidak memikirkan sekolah. Aku memikirkan Abet.
Setelah obrolan panjang kami malam
itu, Abet mengantarkanku pulang seperti tidak ada beban. Seperti kami kembali
sedia kala dan baik baik saja. Lantas aku yang kemudian kebingungan. Dia tidak
pernah merasa memutuskan hubungan kami, dia hanya merasa perlu untuk rehat
sejenak dan menyembuhkan dirinya dari kecanduan. Tapi dia sama sekali tidak
memikirkanku dan terkesan seperti meninggalkanku sehingga Opi kini terlibat.
Aku tidak mampu meninggalkan orang sebaik Opi, tapi aku juga tidak mau kehilangan
Abet lagi. Kini aku harus memutar otak dan mencari cara untuk menyampaikan hal
ini padanya.
“Aku mau ngomong” kataku suatu hari
saat kami tiba di rumah sepulang sekolah. Yup dia kembali rutin mengantar dan
menjemputku sekolah. Seperti penebusan dosa dan pembuktian bahwa kini dia
kembali sebagai orang yang lebih baik.
“Ya ngomong aja lah, kenapa mesti
seserius ini?”
“Ini memang serius. Please jangan
marah…”
Dia memandangku dan mendengarkan.
“Waktu kamu pergi hampir berbulan
bulan kemarin tidak ada kabar. Aku pikir kita sudah..”
“Putus? Terus kamu dekat dengan laki
laki yang rambutnya panjang itu?”
“Lho?? Kok… kamu..”
“Yu, sebelum kita ketemu di kolam
renang aku sudah lama nungguin kamu.”
“Kamu ngikutin aku?”
“Udahh, pokoknya aku tahu. Lalu kamu
pacaran sama dia?”
“Aku gak tau hubungan kami seperti
apa?”
“Lho kok ga tau? Memangnya dia gak
bilang sama kamu hubungan kalian kayak gimana?”
“Enggak. Dia Cuma nyium aku lalu kami
jalan dan saling berkirim pesan. Itu aja. Aku pikir kami.. hmm.. dekat.. ”
Dia tersenyum lalu memberikan telfon
genggamku.
“Mumpung baru dekat. Telfon dia
sekarang. Bilang, kamu sudah ga bisa dekat lagi sama dia”
“Tapi..”
“Atau kamu mau dekat sama dia aja dan
kita sudahan”
“Enggak sih.. tapi…”
“tapi apa?”
Lalu aku menekan tombol panggilan dan
namanya sudah terpampang di sini. Nada dering terdengar sangat lama karena aku
berfikir keras dalam beberapa detik lagi aku harus menyampaikan apa pada Opi.
“Halo”
“hei lagi dimana?”
“Lagi bongkar mobil nih, di bengkel.
Kamu dimana?”
“Di rumah. Aku mau ngomong”
“Nanti aja abis aku bongkar mobil ya!”
“Jangan, sekarang aja”
Aku terdiam sejenak dan melihat Abet
yang menunggguku menyampaikan pesan itu.
“Aku minta maaf Pi. Aku ga bisa jalan
lagi sama kamu” lalu aku mematikan panggilan telfonku dan menarik nafas
panjang. Aku merasakan tangan Abet mengelus punggungku sambil kemudian berbisik
“I love you Ayu”
Lalu terlihat nama ‘Opi Honey’ di
layar handphone bordering. Panggilan masuk yang kuabaikan.
Bersambung.
Bersambung.
Kalau bahan tulisannya udah ada gini, nanti begitu beres diseriusin jadi buku aja, Yu...
BalasHapusrencananya gitu dee... tapi belum pede nih. tes pasar dulu basic nya ini. nanti tinggal dikembangin
HapusIni menarik kok. Gue aja nggak berenti bacanya, ngikutin terus...
BalasHapus