Cinta pertamaku bukan Abet. Aku ingat
beberapa nama yang kemudian mengisi pikiran dan hari hariku di masa remaja.
Perasaan berbunga bunga yang nyaris membuatku keringat dingin dan sakit perut
setiap kali bertegur sapa atau berada bersama orang tersebut di satu momen yang
sama.
Ciuman pertamaku bukan Abet. Aku ingat
laki laki yang usianya jauh lebih tua dariku, menciumku saat kami tengah
menonton film Harry Potter and the philosopher stone. Aku tidak menolak dan
memberontak sama sekali. I really enjoy my first kiss with that man.
Tapi dengan Abet, he was my first
sexual desire. Dia memberikanku pengalaman yang sudah kumulai sejak di bangku
sekolah dasar. Menyukai seseorang dan mendapat ciuman pertama. Dia
menggenapinya dengan rasa indah dari sebuah sentuhan dan rasa aman dalam sebuah
pelukan. Dan ya aku menikmatinya dengan sangat sadar.
Hari itu rupanya rumahku kosong tidak
ada orang. Kami tidak punya pembantu rumah tangga karena aku dan kakakku sudah
besar, we can help ourself. Mama bekerja di Jakarta dan Papa bekerja di luar
kota. Aku tidak tahu kenapa kakakku selalu pulang lebih lambat. Kami memutuskan
untuk menghabiskan waktu di rumah saja. Kami menonton televisi di ruang tengah
sambil tertawa karena adegan sinetron komedi yang lucu.
Baca cerita sebelumnya di sini
Aku ingat menyandarkan diri pada
tubuhnya, tangannya melingkar memeluk. Sesekali aku merasakan tarikan nafas
panjang dan kecupan di rambut dan dahi kananku. Udara panas yang mengaliri
tengkuk menyihirku untuk berbalik badan dan mencium bibirnya yang penuh. Dia
menerima ciumanku dengan lembut. Tidak tergesa gesa. Kedua mata kami tertutup.
Kami bahkan dapat merasakan aroma nafas yang rasanya bertukar.
Ciuman lembut dan pelukan hangat
lambat lambat kemudian memacu adrenalin kami yang tanpa sadar membuat kami
bangkit dari ruang televisi. Tubuh kami berdua kini telah rebah di sebuah kasur
kecil yang terbungkus seprai winnie the pooh warna biru. Nafas kami kini saling
memburu seperti rusa yang dikejar – kejar induk harimau yang harus pulang
membawa makan untuk sang anak. Kami kelaparan dan kehausan akan tubuh masing
masing.
Kedua tangan kami kini diperintah oleh
sang otak tanpa suara. Membuka baju dan celana yang melekat ditubuh sampai
semuanya tanggal. Kulit di tubuh kami kini beradu tanpa pembatas. Hangat dan
erat. Bibirnya kini mencumbu seluruh bagian tubuhku, aku mengerang dalam
kenikmatan. Dunia berhenti berputar selama beberapa detik hingga akhirnya aku
merasakan sesuatu yang keras menerobos banteng pertahananku. Yang kurasakan
selanjutnya tubuhnya mengayun di atas tubuhku, keluar dan masuk.
Putaran bumi kini kembali terasa dan
berputar sangat kencang seperti kincir yang tertiup angin. Aku menahan ayunan
tubuhnya, kedua tanganku memegang bahunya. Erat.
“Gila lo! Ini masuk?” Begitu kataku
dengan nada keras.
“Ya udah di dalam? Mau gimana?” begitu
jawabnya.
Lalu duniaku hilang tanpa kesadaran.
Tubuhku diam membeku pasrah sampai sampai yang tersisa hanya tetesan keringat
di tubuh kami yang terbaring kelelahan.
Malam harinya, aku sempat berada di
dalam kamar mandi cukup lama. Perlahan aku memasukan kedua jari ke dalam liang
vagina yang siang tadi telah menemukan tuannya. Air mataku menetes.
Bersambung.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar