Aku sangat butuh udara segar.
Pertemuanku dengan Medina selalu kurang lebih sama. Isinya biasanya berisi
cerita keseharian anak sekolah. Medina adalah
adik kelasku sewaktu SMP, meski akhirnya aku lulus duluan kami masih rutin
ngobrol melalui telfon rumah atau aku main ke rumahnya.
Bioskop hari itu tidak begitu ramai.
Sepertinya karena filmnya juga gak ada yang terlalu bagus. Keheningan bioskop
kemudian pecah saat seorang laki – laki masuk ke dalam. Celana jeans biru yang
nyaris luntur, kaos berwarna merah, dan jaket besar berwarna hijau tentara. Mata
sipitnya tertutup kaca mata hitam, rambutnya keriting dan kulitnya putih. Ada
keringat dan rasa lelah menempel di wajahnya.
Yang aku tahu selanjutnya Medina
memanggilnya “Abang!!”
Laki laki itu menoleh, tersenyum dan
melangkahkan kakinya menuju tempat kami duduk. Tempat duduk melingkar dengan
bahan bludru warna merah dan tanaman plastik di dalam lingkarannya. Laki laki
itu masih tersenyum. Aku rasanya ingin memutar waktu dan kembali di masa itu,
aku ingin melihat seperti apa wajahku saat itu saat melihat wajahnya.
Dia mengulurkan tangannya kepada
Medina, menanyakan kabarnya dan ngobrol soal beberapa hal terkait dengan
aktifitas pecinta alam. Lalu Medina memperkenalkan laki laki itu padaku.
“Abet.” Dia menyebutkan namanya sambil tersenyum. Suaranya masih terngiang di
dalam mata, telinga dan kepalaku sampai hari ini.
Entah kebodohan apa yang ada di
benakku saat itu. Hal pertama yang menjadi pembuka pembicaraan kami adalah
pertanyaan kenapa dia membawa tas yang begitu besar dan apa saja isinya. Alih alih
menjawab, dia malah membukanya dan mengeluarkan isinya satu persatu. Ada sebuah
sweater merah (OMG dia kan sudah pakai jaket), sebuah organizer untuk mencatat
nomer telfon, janji temu dan catatan kaki, sebuah file organizer yang lebih
besar untuk mencatat pelajaran di kampus dan tempat lesnya, alat tulis di
sebuah tempat pensil, dan sebuah pouch berisi pembersih muka, odol sikat gigi,
obat tetes mata dan parfum. Dalam kurang lebih 10 menit, laki laki ini sudah
menceritakan 5 persen kehidupannya dari sebuah tas.
Obrolan singkat yang begitu dalam
tersebut pecah saat sebuah suara panggilan pintu teater telah dibuka. Abet bergegas
bangkit dan membeli tiket setelah sebelumnya bertanya kepada kami, nomer duduk bangku.
Dia ikut nonton. Gila batinku. Orang ini sangat spontan sekali. Seingatku dia
masuk ke bioskop ini hanya karena di luar sangat panas dan membutuhkan
kesejukan. Sekarang dia sudah duduk di sampingku di dalam bioskop.
Abet mengantarkanku pulang, dan
mengoceh sepanjang perjalanan. Kami berdua seperti terkoneksi satu sama lain. Aku
bisa meramal akan ada 1001 cerita yang dapat kami bahas dalam satu malam dan
menurutku itu sangat gila.
Di depan pagar rumah, sempat –
sempatnya dia menanyakan nomer telfonku. Saat itu aku belum memiliki telepon
genggam. Jadi kuberikan saja nomer telepon papa dan nomer telfon rumahku. Dia lalu
menuliskan nomer telfon rumahnya dan nomer hp nya di selembar kertas dalam
organizer mini nya. Dia mengucapkan terimakasih atas hari yang menyenangkan,
lalu pergi meninggalkanku yang berdiri tersenyum dari balik pagar memandangi
laki laki dengan motor Jupiter silver yang pergi.
Satu hari yang gila. Aku jatuh cinta
pada pandangan pertama.
Bersambung.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar