Is it death
that I have to face to feel alive?
Suatu hari
Abet pernah bertanya padaku dan langsung ku respon dengan marah. “Ngaco ah”
begitu kataku padanya. Tak lama kemudian dia meninggalkan kami selamanya. Dan
semenjak hari itu kehidupan kami berubah, kehidupanku berubah. Langit menjadi
bumi.
Ada sesuatu
tentang kematian yang kemudian membuatku selalu berhenti.
Untuk
menangis, mengenang, melihat kembali ke belakang, memandangi foto – foto, video
serta surat yang pernah kami tulis dan bagi bersama. Kematian dalam sedetik
membuatku berhenti dan mengevaluasi semuanya. Apa yang terlewat? Rasanya luar
biasa, seluruh rasa tumpah saat kematian datang.
Is it death
that we have to face to feel alive?
Akhirnya pertanyaan
itu aku kembali tanyakan. Saat dua temanku kehilangan ayahnya pada waktu yang
tidak berjauhan di awal tahun ini, saat tiga tahun lalu Miguel hanya bisa
bertahan selama empat puluh jam tanpa bertemu denganku, saat sebelas tahun lalu
Abet memilih pergi dan tidak bertahan, atau saat siang kemarin Mike akhirnya
melepaskan semua rasa sakitnya.
Kematian
kembali membuatku berhenti dan menangis.
Sebuah energy
besar yang selalu membuatku kembali melihat orang – orang di sekitarku yang
masih hidup tapi lama tidak kusapa. Yang masih hidup tapi sering kali kuabaikan
dan kulupakan. Kematian kemarin, adalah nyawa baruku pagi ini. Aku merasakan
udara yang kuhirup begitu dingin hingga menusuk. Sedikit sesak, namun aku masih
bisa merasakannya. Kematian kemarin adalah amunisiku untuk melanjutkan
kehidupan hari ini. Sesekali air mata masih menetes kadang juga bisa sangat
deras tidak tertahankan. Tapi tidak apa. Kematian menyediakan semua ruangnya
untuk kita mengolah rasa. Rasa yang seringkali tidak bisa kita tumpahkan kala
kehidupan mendominasi dengan segala euforianya.
Dear Mikey
Mike, would you please send my love through your hug to all the person I love
in heaven. I am gonna miss you and your hug every month Mikey! Rest in Love!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar