Sebuah pohon manga besar kini berdiri di hadapanku. Aku ingat betul pohon ini, pohon manga di rumah ibu (panggilan untuk nenek) di Cipulir. Pohon ini biasa kami naiki, ya… aku, kakak,sepupu – sepupu dan bahkan anak anak kampung di sekitar komplek.
Tapi kali ini pohon ini hanya berdiri sendiri tidak ada seorang anakpun menaiki dahannya yang begitu landai. Satu satunya anak yang berada di sekitar pohon adalah gadis kecil berusia 6 tahun menggunakan dress, topi floppy straw dengan pita mengelilinginya dan sepatu pantofel dengan kaus kaki renda. Semua yang menempel di tubuhnya berwarna pink dan gadis kecil itu adalah aku.
Aku kini berdiri terpaku memandangi pohon mangga besar itu. Kuat dan kokoh namun rindang dan begitu menghangatkan. Aku memandangnya lama untuk kemudian pelan pelan kuucapkan kata demi kata kepadanya. Sebuah ucapan terima kasih yang ku susun khusus untuknya.
Dear Pohon Mangga, Hari ini aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu
Terima kasih kepada akar karena selama ini kau telah menyokong dan menjaga sang pohon tetap kokoh. Tanpamu akar, sang pohon akan kehilangan air serta mineral yang dibutuhkannya untuk tetap hidup. Terima kasih akar karena telah siang dan malam berjaga agar seluruh tubuh tetap tegak berdiri.
Terima kasihku juga kepada batang karena senantiasa menjadi kuat, berdiri selama bertahun tahun dan menjaga kestabilan serta keseimbangan bagi seluruh pohon untuk tetap hidup. Terima kasih karena menjadi bagian yang mengangkut air serta makanan dari akar dan membagikannya kepada semua.
Terima kasih kepada dahan dahan dan ranting yang senantiasa membuka dirinya menjaga dan menghubungkan seluruh bagian dari dirimu dan semesta. Terima kasih atas ruang yang sering kau berikan kepada anak – anak untuk memanjat dan bermain – main tertawa bahagia. terima kasih karena telah menjadi dahan yang kuat, yang menjaga dan memberikan perlindungan.
Terima kasih kepada dedaunan yang telah memberikan rimbunnya, menjadi ruang untuk mengolah makanan dari semua yang alam semesta berikan. Kau memberikan rumah pada kebaikan yang kemudian kau bagikan kembali kepada semua. Terima kasih telah menjadi hijau yang menyejukan bersama kuntum kuntum bunga di sekitarmu yang mengindahkan hari hariku. Terima kasih ku kepada buah yang pada akhirnya memberikan begitu banyak manfaat serta kebahagiaan bagi semua.
Pada setiap ucapan terima kasih yang disampaikan olehku sang gadis kecil pada sang pohon, mulai dari akar, batang dahan, daun, bunga dan buah.. mereka perlahan berubah dan menjelma menjadi sesosok yang sangat familiar. Seorang perempuan menggunakan kaos dan celana hitam, sandal jepit dengan rambut yang dibiarkan jatuh. Perempuan itu nampak begitu lelah dan berusaha tetap kuat.
Aku lalu maju, mendekat perlahan lahan dan menggapai tangan diriku yang dewasa. Aku memandang wajahnya yang menua dengan baju hitam yang seperti sudah dipakai berhari – hari lalu aku memeluknya seraya berkata
Hei I know.. beberapa tahun ke belakang bukan waktu yang mudah untukmu
Hidupmu di bolak balik dan jatuh bangun. Semuanya membuatmu sakit.
Tapi tahu gak, selama bertahun tahun juga kamu sudah melakukan begitu banyak kebaikan yang selalu memberi dampak bagi begitu banyak orang. Kamu dengan lantang berteriak dan membela kebenaran. Kamu maju ke garis paling depan dan berjuang untuk begitu banyak orang yang membutuhkan.
Tapi mungkin sekarang waktunya kamu berhenti sejenak. Tidak apa apa, mereka semua akan baik baik saja. You don’t have to always fight all the time. Saat ini kita lebih membutuhkanmu. Aku dan dirimu membutuhkan dirimu untuk beristirahat, untuk menangis jika sedih, untuk berteriak jika marah, dan untuk menyanyi serta menari jika bahagia. hal hal yang tidak pernah kau lakukan karena kau terus berusaha untuk menampilkan yang paling baik bagi orang lain.
Maka itu aku berterima kasih kepadamu, kepada kakimu.. tubuhmu, tanganmu, urat dan sarafmu, tulang dan ototmu, bahu dan pundakmu.. rambut dan indahnya parasmu. Terima kasih karena telah menjadi kuat selama tiga puluh tiga tahun ini. Meskipun kau tidak lagi suka menggunakan dress pink dan kaos kaki berenda, aku tidak marah. Mungkin warna bagimu bukan hal yang penting. Yang penting adalah menjadi diri kita sendiri bukan.
Terima kasih dan beristirahatlah. Berbahagialah atau bersedihlah, luangkanlah waktu untuk kita. Tidak apa apa, sungguh…
Pelukanku yang mengencang kemudian mengendur perlahan sambil pelan – pelan aku melepasnya. Kini dia kembali menjadi pohon mangga yang kuat dan kokoh. Aku tersenyum, semoga dia mendengarku.
Langkah mungil di dalam sepatu pantofel pinkku beranjak meninggalkan sang pohon, aku lambaikan tangan dan kuberikan kecup jauh karena aku begitu menyayangi si kuat yang selalu bertahan. Dia yang terhebat dan selalu ada untukku, untuk kami.
Langkahku kemudian terhenti pada sebuah ruangan tempat aku kembali dimana Ibu Dewinta menyambutku dengan senyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar