“Saya perempuan baik – baik, tapi kenapa Tuhan masih kasih saya HIV”
Beberapa minggu ke belakang, kalimat diatas kerap berseliweran di kotak pesan instagram saya. Dari begitu banyak curhatan dan konsultasi terkait HIV, ada beberapa orang yang memilih untuk diam pada kemarahannya hingga menahun. It hurt me at the beginning, saya sempat mempertanyakan kenapa sih anda semarah ini? Sampai saya ingat, saya pun pernah melalui fase yang sama.
Kalau saya bisa ibaratkan, terinfeksi HIV seperti mendengar kabar anggota keluarga meninggal. We feel like we already die. Duka nya sangat mendalam sehingga membuat kita kehilangan akal sehat atau bahkan diri sendiri. Yes, we lost ourself in that situation.
Banyak sekali ODHA yang bertahun – tahun marah pada keluarga, pasangan dan bahkan Tuhan karena mendapatkan situasi HIV ini. Tentu kita semua tidak mengharapkan ini terjadi pada diri kita. Jadi dalam tulisan ini saya mau mengajak teman – teman yang terinfeksi HIV atau anggota keluarga yang memiliki kerabat yang terinfeksi HIV untuk pulih secara bertahap.
Sebelum saya memahami “5 step Of Grief” yang dipopulerkan oleh Elisabeth Kubler Ross, ternyata saya telah mengalami itu semua. Saat melepas kepergian Abet, saat menerima kenyataan saya terinfeksi HIV, saat juga harus menelan pil pahit melihat bayi yang saya lahirkan meninggal setelah 40 jam. Semua berangsur – angsur terjadi dalam kurun waktu 10 tahun. Lalu ada di stage manakah saya sekarang ini?
5 Tahapan berduka ini terdiri dari : Denial (Penolakan), Anger (Marah), Bargaining (Mempertimbangkan), Depression (Depresi) dan Acceptance (Penerimaan). Kelima tahapan ini ternyata benar – benar saya alami di semua fase terburuk dalam hidup saya.
Awalnya saya menolak untuk menerima kenyataan bahwa saya terinfeksi HIV dan ditinggal mati oleh suami. Saya menolak mendapatkan bantuan psikologis dari orang lain, menolak mendapatkan rasa sayang dan pelukan dari mereka yang menyayangi saya. Saya menolak dunia memberikan saya kebaikan lebih karena saya sedang kehilangan. Tapi setelah beberapa saat, penolakan tersebut berkembang menjadi rasa marah yang cenderung tidak dapat saya kendalikan. Rasa marah yang tidak pada tempatnya yang bertransformasi menjadi sikap sikap acuh yang menunjukan kemarahan. Saya bukan tipe orang yang bisa marah – marah soalnya. Sehingga kemarahan saya ditunjukan melalui tindakan dan sikap.
Sekian lama menolak kenyataan dan sibuk marah pada sekitar, saya capek juga. Saya ingat ada masa dimana saya akhirnya membutuhkan orang lain. Saya mulai mendengarkan masukan dan nasehat orang lain karena saya terlalu lelah. Meskipun kemudian saya menimbang – nimbang apa yang harus saya lakukan setelah ini. Di stage ini kita menunjukan sebuah perkembangan yang baik karena kita mulai membuka diri. Saya mulai mencari bantuan, bertanya pada dokter apakah saya bisa bertemu dengan kelompok dukungan sebaya. Dan mulai membuka hati saya untuk berteman dan mengobrol dengan lebih banyak orang tentang semua kesedihan saya.
Saya berada di fase ketiga dalam jangka waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya saya ingat bahwa semua kebaikan yang terjadi dalam hidup saya tidak mengubah keadaan bahwa saya tetap terinfeksi HIV dan tetap kehilangan sosok almarhum suami saya. Saya kembali tenggelam dalam kesedihan. Kali ini berlipat ganda dan bertambah kuat. Saya lebih marah, lebih sedih, dan lebih menolak. Sebuah fase yang sangat berat karena saya tahu betul juka saya bertahan dalam situasi ini sama dengan saya memperburuk keadaan. Beruntungnya saat itu saya sudah mulai bekerja dan saya putuskan untuk menenggelamkan diri pada kubangan pekerjaan dan tanggung jawab yang menjadikan saya merasa dibutuhkan serta lebih berarti. Saya menyadari bahwa saat itu saya depresi berat.
Lucky me, karena lingkungan tempat saya bekerja memiliki energy yang sangat positif. Dedikasi saya terhadap isu HIV kala itu tidak main – main, kami turun ke jalan dan melakukan apapun yang kami bisa untuk membantu memperbaiki keadaan. It becomes positive way to heal, but in the other way saya sadar sangat sering meninggalkan anak karena lebih memprioritaskan pekerjaan. Di titik tersebut saya merasa saya hanyalah manusia, bukan jagoan yang bisa menyelamatkan seisi bumi dari marabahaya.
Saya memasuki tahapan akhir untuk menerima semua kondisi yang ada di diri saya sepenuhnya setelah 5 tahun. Saya memutuskan, sebelum saya menerima kondisi HIV terlebih dulu saya harus memaafkan diri, memaafkan masa lalu, melepaskan semua kemarahan dan penolak sehingga saya bisa hidup. Saya berdamai dengan diri sendiri setelah tahun kelima terinfeksi. Can you imagine? Butuh waktu yang sangat panjang untuk kita memaafkan diri sendiri. And its totally fine, gak apa. Jangan punish dirimu sendiri hanya karena semua perasaan marah dan bersalahmu begitu besar.
Satu hal yang saya ingat pada saat melalui semua momen ini adalah saya tidak sendiri. Saya punya kedua orangtua, anak serta kakak dan adik yang senantiasa mendampingi saya.
Kini perjalanan lima tahun berdamai harus saya ulang kembali dari nol saat kemudian saya kehilangan Sir Miguel, putra kedua yang saya lahirkan tahun 2017 lalu. Bukan hanya hancur dan berduka. I even think about killing myself. Susah payah membangun tembok pertahanan terkuat dan terbaik. Lalu hancur begitu saja. Lantas apakah artinya Tuhan tidak menyayangi saya, tentu tidak. Karena dia hanya mengambil anak saya. Dia tidak mengambil kebahagiaan saya yang lainnya, yang masih hidup dan membuka kedua tangannya lebar setiap kali saya berada dalam kesedihan.
Kali ini di tahun kedua saya sudah melalui dua fase Denial dan Anger. Saat ini saya sedang bargaining. Saya sedang berupaya mengajukan perdamaian pada diri sendiri yang masih up and down ini. Tapi saya menikmatinya dengan sungguh. Cause I’ve been through a lot dan saya bisa lho. Kenapa yang kali ini saya gak bisa?
One step a moment, pelan – pelan sekali. Don’t push yourself too hard.
Terima kasih ya sudah membaca tulisan saya lagi. Oiya, satu hal.. jika kamu sudah lelah dan ingin berhenti.. ingatlah semua usaha dan perjalanan panjang yang membawamu hingga hari ini. Its worth to fight back and comeback stronger!
Peluk Ayu...
BalasHapusLima tahapan ini bisa jadi template buat segala macem peristiwa. Kayak anak tangga, ini perlu ditapakin satu-satu untuk sampai "ke atas". Proud of you :)