sumber : google.com |
Meskipun dipecat,
alhamdulilah saya masih punya beberapa teman yang sejak awal suami saya
meninggal, mereka sudah mengetahui soal HIV ini. Seperti Nanda, Angga, dan Raski.
Mungkin mereka adalah tiga orang teman pertama yang bertahan sampai hari ini
setelah tahu. Selebihnya, ada yang menjaga jarak, ada yang langsung menghilang
tidak lagi menghubungi, ada juga yang masih suka berbasa – basi demi terlihat
tidak apa – apa. Dan saya baik – baik saja dengan hal itu. Semua orang punya
pilihan mau berteman dengan siapa, apalagi jika tidak mau berteman dengan saya
karena terinfeksi HIV.
Tapi dokter di
rumah sakit memiliki kekhawatiran yang lain. “Kamu harus bertemu dan ikut
berkumpul dengan teman – teman HIV lainnya yu.” Begitu nasihat beliau. Awalnya
saya tidak mengindahkan permintaannya, namun ada benarnya juga pernyataan
beliau. Maka untuk mengisi kekosongan hubungan pertemanan, saya mulai menjalin
hubungan baru dengan lingkaran pertemanan ODHA.
Tidak sulit
bertemu dengan mereka yang juga bernasib sama dengan saya. Di rumah sakit
tempat saya berobat, ada sebuah kelompok dukungan yang senantiasa melakukan
pertemuan rutin. KDS Wijaya Kusuma namanya. Dari sana saya mulai berteman
dengan mereka yang sebelumnya tidak pernah sama sekali saya temui dan berteman
secara akrab. Alasannya sederhana, saat itu saya pikir mereka berbeda.
Namun pada
akhirnya, teman-teman homoseksual, pekerja seks, waria dan mereka yang
terinfeksi HIV menjadi teman saya. Mereka membuka paradigma berfikir serta cara
saya memandang manusia yang selama ini sangat sempit. Bersama mereka, saya
belajar menghargai hidup dan menghargai orang – orang di sekitar saya.
Lingkaran
pertemanan ini menjadi lebih luas saat saya memutuskan untuk bekerja di sebuah LSM
dan mendedikasikan hidup bagi mereka yang terinfeksi HIV. Sejak tahun 2010
hingga 2015, saya banyak bekerja untuk penanggulangan HIV. Gelar yang saya
emban menjadi bertambah, yakni aktivis HIV. Selama enam tahun, saya benar –
benar memberikan hidup saya pada persoalan HIV ini. Mulai dari melakukan
pendampingan langsung, memberikan informasi kepada ODHA dan keluarganya, sampai
memberikan dukungan serta penguatan agar dia tetap semangat melanjutkan hidup.
Baca juga yuk : Bagaimana Orang Melihat saya setelah terinfeksi HIV
Tidak sulit
mencari saya saat itu. Sehari – hari saya hanya akan berada di rumah sakit dan
puskesmas di area Jakarta Selatan. Menunggu dokter memanggil saya untuk
kemudian bertemu dengan ODHA serta keluarganya. Atau kemudian membantu untuk hal
hal yang darurat seperti mengantar pasien ke UGD atau mencarikan mereka ruang
rawat inap. Saya mulai berteman dengan bayangan bayangan saya sendiri. Saya juga
mulai terbiasa berteman dengan kematian yang tiap minggu datang menjemput kawan
– kawan yang saya urus. Sedih rasanya, namun saya belajar lagi tentang kematian
sebagai bagian yang paling pasti dari sebuah kehidupan.
sumber : google.com |
Ada juga fase
dimana saya merasa ingin melakukan hal yang lebih besar. Seperti melakukan
upaya advokasi memperjuangkan hak teman – teman orang yang terinfeksi HIV untuk
mendapatkan akses obat dan keadilan. Bersama Indonesia AIDS Coalition dan
Ikatan perempuan positif Indonesia saya mendapatkan ruang yang sangat baik
untuk melakukan upaya – upaya tersebut.
Mendapat
kesempatan menyuarakan suara ODHA di
banyak forum internasional di semua benua. Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan
Afrika. Mana pernah saya bermimpi melakukan hal itu semua. Dikenal banyak
orang, diberi penghargaan yang sangat tinggi dan tidak di rendahkan martabatnya
hanya karena virus HIV. Saya Cuma pikir saya akan mati, tapi ternyata tidak.
Tuhan beri saya begitu banyak kesempatan.
Saya pernah mengetikkan
“Ayu Oktariani” dan ditambahkan kata “HIV” di situs pencarian google atau di
situs Youtube. Saya mengira-ngira informasi apa yang akan muncul. Ternyata ada
begitu banyak artikel di berita online dari hasil wawancara setiap hari AIDS
menjelang, cerita – cerita tentang bagaimana saya memperjuangkan hidup, sampai ulasan
internasional tentang pidato saya di forum konferensi HIV. Di Youtube saya
menemukan beberapa video wawancara yang saya yakin dapat membuat semua orang terinspirasi.
Baca juga yuk : Suara Pasien untuk Indonesia, Hari Hepatitis Sedunia 2015
Yang membuat terkejut,
saya bisa melihat profil diri saya sendiri di Wikipedia. Kala itu ada rasa
bangga dan haru bahwa atensi masyarakat terhadap saya tidak seburuk yang saya
duga. Masa – masa keemasan begitu saya menyebutnya, membuat saya menjadi
pribadi yang jauh lebih baik dan memberi manfaat bagi banyak orang.
Namun sayangnya, saya
menyadari begitu lama saya tidak memikirkan diri sendiri, malika dan keluarga.
Saya kehilangan banyak momen yang berharga bernama keluarga. Hidup saya hanya
ada di lingkaran HIV. Saya tidak pernah menonton film dan mendiskusikannya
dengan teman – teman yang juga menyukai film. Saya tidak pernah datang ke acara
musik atau berlibur ke suatu Negara hanya untuk berlibur. Semua yang saya
lakukan latar belakangnya hanya HIV dan HIV. Saya bahkan tidak memiliki teman
yang bisa ngobrol soal buku buku yang saya baca.
Ada momen – moment
semenjak saya pindah dari Jakarta ke Bandung, saya mulai berbaur dengan
kelompok masyarakat lainnya sebagai diri saya sendiri. Perempuan yang
terinfeksi HIV yang memiliki seorang putri, dan menikahi seorang pria yang
bergelut di bidang kreatif dan olahraga. Perlahan – lahan hidup saya mulai terasa
normal.
Di Bandung Malika
dan saya menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Kami datang ke begitu banyak
forum anak dan orangtua seperti festival dongeng, festival anak bertanya sampai
menghadiri konser Naura seorang penyanyi cilik idola Malika. Kami rutin
menonton film di bioskop atau membeli buku favorit. Hal hal yang jarang sekali kami
lakukan bersama saat saya sangat sibuk dengan urusan HIV.
Kepergian putera
saya Miguel, menyisakan luka mendalam. Bukan hanya soal kematiannya, tapi
tentang bobroknya kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang selama ini
saya perjuangkan bersama teman – teman di IAC atau IPPI. Kala itu, saya
akhirnya merasakan hal yang sama. Saya mulai kehilangan kepercayaan terhadap Negara
ini. Saya menjaga jarak dengan semua orang yang berada di lingkaran HIV yang
dulu sangat saya banggakan. Ada bagian dari mereka yang tidak lagi sama. Saya
seperti merasa berjalan sendirian lagi.
Tapi kemudian alam
semesta memberikan lagi kesempatan kepada saya. Dimana akhirnya saya bertemu
dengan Komunitas Emak Blogger yang memberikan ruang bagi saya untuk menulis di
blog dan berkenalan dengan banyak perempuan di seluruh Indonesia yang juga
melakukan hal serupa. Meskipun bukan member yang aktif, tapi KEB memberi ruang
yang baru bagi saya dimana saya dapat menjadi diri sendiri dalam setiap tulisan
saya di blog. Dan blogger lain tidak lari tunggang langgang saat mengetahui blog
saya ya soal pengalaman hidup dengan HIV.
Saya juga bertemu
dengan CS Writers Club. Sebuah klub menulis di Kota Bandung yang berkumpul
setiap hari kamis dengan tema menulis yang berbeda – beda. Di ruang ini, saya
dapat menjadi diri sendiri dengan sangat nyaman. Semua anggotanya tahu bahwa
mereka memiliki anggota baru seorang perempuan yang terinfeksi HIV. Hampir
tujuh bulan kami bertemu setiap minggunya dan semua baik – baik saja.
Suami saya dari
pernikahan kedua mengajarkan saya begitu banyak hal baru yang mungkin dulu saya
tidak pernah terfikirkan untuk melakukan ini. Dia mengajarkan saya berbisnis
dan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Hal yang dulu enggan saya lakukan
karena saya menganggap saya sudah tidak memiliki kemampuan karena terinfeksi
HIV. Lagi lagi pikiran saya salah. Kami berwirausaha di bidang kuliner seperti
membuat warung siomay dan warung kopi. Meskipun hingga kini kedua warung
tersebut masih berproses, tapi rasanya luar biasa dapat bekerja untuk diri
sendiri. Selain itu, hobi suami dalam bidang olahraga Futsal mengantarkan kami
kepada kesempatan untuk membuka sebuah sekolah futsal. Tepat setelah dia
mendapatkan lisensi pelatih, kami mewujudkan mimpi tersebut.
Warung siomay dan kopi
serta akademi futsal mengantarkan saya kepada lingkaran yang lebih sehat dan
beragam. Para orangtua dari murid – murid kami, serta pelanggan warung dan
relasi kerja yang terhubung dalam lingkaran baru ini membuat hidup saya lebih
berwarna. Warnanya bukan cuma merah seperti warna pita merah symbol perjuangan
HIV. Namun warnanya sangat banyak, seperti pelangi.
Today I feel like this, Happy seeing sunset with friends |
Akhirnya setelah Sembilan
tahun saya dapat tidur dengan nyenyak tanpa harus memikirkan Negara yang kerap melakukan
ketidakadilan. Saya dapat bangun dan memeluk suami saya terlebih dahulu tanpa
harus terburu – buru meninggalkan rumah karena harus rapat ini itu dengan kawan
– kawan LSM. Egoiskah saya. Ya, tapi saya pikir ego menjadi sangat penting
untuk kesehatan jiwa saya yang selama enam tahu terakhir saya dedikasikan untuk
orang lain tanpa memiliki kesempatan – kesempatan yang saya sebutkan diatas.
Saya tidak pernah
membenci persoalan HIV ini. Rasanya hanya lelah dan bosan, terlalu penuh isi
hati dan kepala saya dengan jutaan masalah. Maka dari itu, sebagai pengobat
rasa rindu dan pengingat bahwa masalah tetap belum selesai. Saya masih
melakukan pendampingan pada ODHA dan pemberian informasi HIV kepada orang –
orang yang membutuhkan melalui blog dan media social milik pribadi. Sama
seperti saya mengawali hidup saya saat terinfeksi HIV, menjadi pendengar selalu
memberikan dampak positif.
Baca Juga Yuk : Hari Ibu bersama Malika dan Naura
Saya kemudian
percaya bahwa setiap orang punya kesempatan yang sama untuk hidup dan memilih
jalan hidupnya. Sembilan tahun terakhir merupakan perjalan yang teramat sangat
panjang. Saya berkesempatan bertemu dengan berbagai macam karakter dan pribadi dari
seluruh pelosok dunia dan dari berbagai ruang. Pahit dan manis adalah semacam
bumbu yang membuat rasa dalam kehidupan lebih beragam.
Tulisan ini
sebetulnya bentuk rasa syukur saya kepada setiap orang yang pernah menjadi
bagian dari kehidupan saya. Baik sejak sebelum saya terinfeksi HIV hingga hari
ini. Semoga tulisan ini juga bisa menjadi penyemangan pada sahabat – sahabat ODHA
saya, bahwa jadilah dirimu sendiri dan berbahagialah.
Semangat trus mba ayu, tulisannya sangat menginspirasi...
BalasHapusMasyaAllah, dalam keadaan teh Ayu masih memikirkan orang lain.
BalasHapusTerus semangat ya Teh. di KEB kami semua welcome sama siapa aja. Kalau ada event-event ikut ya teh biar bisa makin kenal dan berbagi pengalaman. :)
Aku setuju teh, yg harus dihindaei itu penyakitnya, bjkan orangnya. Dulu waktu jadi reporter pernah wawancara yang kena HIV, dan dokter yang ak wawancara juga bilang,kebanyakan orang indonesia masih salah kaprah. Semoga tulisan ini bisa ngasih wawasan luas untuk org yg masih awam. Amin :)
BalasHapusBerkumpul dengan teman dalam komunitas, bisa saling menguatkan ya...
BalasHapusKenyang membaca tulisan ini,Teh. Haru,lega, dan bahagia campur aduk. Perjalanan panjang, jatuh bangun bersama kesabaran,ketabahan,dan ketegaran. Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, komunitas, dan pilihan-pilihan yanv mewarnai hidup Teh Ayu
BalasHapusSaya jadi ingat workshop jurnalisme HIV AIDS yang saya ikuti akhir Desember 2017 lalu. Saya belajar banyak dari workshop itu, terutama tentang penulisan feature liputan seputar HIV AIDS. Dan hari ini saya membaca tulisan yang menebarkan energi positif tentang ini. Terima kasih sudah berbagi :)
Dear Teh Ayu,
BalasHapusYou're so amazing. :')
teh, keren banget. semangat produktif teteh sudah menginspirasi aku, thankyou, barakallah
BalasHapusBarakallahu fiik, teh Ayu.
BalasHapusAku percaya setiap manusia hadir di bumi ini memiliki visinya masing-masing.
Dan teteh sudah menemukan visi teteh.
Semoga senantiasa menebar kebaikan, keberkahan untuk lingkungan yaa, teh...
Saya sampai terharu, teh...
You are my inspiration, Yu. Halah, udah kayak lagu aja jadinya, hehehe.
BalasHapusBeberapa waktu yg lalu ketika el ge be te sedang marak diperbincangkan, sebetulnya aku sudah mau colek Ayu, minta pendapaat tentang info HIV AIDS yg terlanjur salah. Tapi sudahlah, sudah lewat juga, hihihi.
Thnk you for sharing, Ayu
Semangat ya, Yuuu. Duh aku belum kesampaian icip-icipin siomaynya Ayu. Kalau kopinya udah, sih. Nah kalau akademi futsal? Ga mungkin kan, aku jadi siswa di sana? Sadar umur hahaha
BalasHapusPenderita HIV membutuhkan dorongan semangat untuk bertahan hidup dan sembuh, tugas kita adalah hadir ditengah2 mereka agar mereka merasa ada teman.
BalasHapus