Kapan terakhir kali kita berkunjung kerumah teman, tanpa harus mengecek melalui akun sosial media nya, dimana keberadaannya? Kapan terakhir kali, kita bisa mengobrol lepas dan bebas dengan teman, pasangan, dan orangtua tanpa harus ter-distract dengan notifikasi akun sosial media? Kapan terakhir kali, kita melakukan aktifitas luar ruang bersama dengan keluarga, ketimbang sibuk mengeksplorasi apa yang dilakukan orang lain di dunia maya? Saya lontarkan pertanyaan ini kepada diri saya hari ini. Dan jawabnya saya hampir tidak ingat, rasanya sudah sangat lama sekali saya tidak melakukan itu semua.
Awalnya saya sungguh sangat menikmati itu. Dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya berusaha memenuhi kebutuhan duniawi saya dengan alat super canggih tersebut. Bahkan saya melihat begitu banyak kawan yang menjadi kecanduan, dan terus mengikuti perkembangan beberapa produk andalannya, sampai setiap kali produk tersebut mengeluarkan seri terbaru, dia tidak akan sungkan mengeluarkan kocek belasan sampai puluhan juta rupiah untuk bisa membelinya. Saya? tidak, saya bukan tidak mau melakukan hal yang sama, tapi jujur saya tidak mampu. Saya masih berfikir puluhan kali untuk membeli sebuah produk seharga belasan juta rupiah. Wong harga hp saya saja hanya 2,6 juta rupiah; itupun saya kumpulkan sekuat tenaga karena ada kebutuhan lain yang lebih penting.
Selain gadget yang semakin canggih, para pembuat aplikasi pun tak mau kalah bersaing untuk menciptakan ruang ruang untuk para pengguna gadget berinteraksi. Mulai dari era friendster, sampai facebook, twitter, instagram, sampai Path. Mulai dari MiRc, sampai forum forum pertemuan langsung dapat dilakukan melalui telekonfrens. Kita tidak perlu capek dan boros mengeluarkan biaya pesawat untuk mengadakan rapat, cukup masuk ke forum di skype atau yahoo, semua dapat terlaksana.
Bahkan saya dan suami saya Febby, dipertemukan dalam sebuah pekerjaan yang melibatkan kami menggunakana twitter. Believe it, kami sudah saling mengutarakan cinta sebelum bertemu langsung. Life is yet crazy! Berbeda dengan pertemuan saya dengan almarhum ayah malika, yang secara tidak sengaja di sebuah bioskop di Pamulang, dan dikenalkan dengan teman. Cara pertemuannya sama, hanya saja dipisahkan dengan benda bernama teknologi.
Lalu kemudian saya teringat pada Malika, anak kami yang kini sudah berusia 10 tahun, kelas 5 SD. Dapatkah dibayangkan, seisi kelasnya semua kawan sudah memiliki akun facebook dan instagram, hanya dia dan beberapa anak saja yang tidak. Saat semua anak dengan santainya menggenggam sebuah handphone seharga jutaan rupiah di sekolah, Malika tidak. Hal itu kami lakukan untuk melindungi dan menjaga Malika, karena kita tidak tahu dampak apa yang terjadi jika kita membiarkan kami memfasilitasinya supaya bisa melakukan hal yang sama di mata kawan - kawannya.
Lalu kami berinisiatif untuk menyalurkan energinya ke aktifitas lapangan yang dia minati seperti renang dan futsal, kami juga memfasilitasinya dengan menyalurkan hobinya seperti membaca dengan rutin membeli buku bacaan setiap bulan. Sayangnya segala upaya dan keberhasilan kami mengalihkan perhatiannya dari jamana serba canggih ini, akhirnya kalah juga.
Saat liburan sekolah dan Ramadhan kemarin dia berlibur ke rumah neneknya, dan kami bebaskan dia menginap serta bermain dengan sepupu dari keluarga ayahnya. Tiba tiba dia menelfon dari handphone ibu saya dan berkata dengan penuh semangat "Mi, aku bikin akun musically, seru banget lho..". Saya tersentak kaget dan panik, tidak tahu harus merespon apa padanya, selain berkata, "oke nanti umi lihat ya". Saya tersadar begitu jauh jarak antara anak ini dengana sosial media. Sehingga, saat sepupunya memperkenalkannya, dia seperti mendapat mainan baru tanpa tahu dampak jangka panjang yang ada jika tidak mendapatkan panduan serta bimbingan dari kami.
Saat liburan sekolah dan Ramadhan kemarin dia berlibur ke rumah neneknya, dan kami bebaskan dia menginap serta bermain dengan sepupu dari keluarga ayahnya. Tiba tiba dia menelfon dari handphone ibu saya dan berkata dengan penuh semangat "Mi, aku bikin akun musically, seru banget lho..". Saya tersentak kaget dan panik, tidak tahu harus merespon apa padanya, selain berkata, "oke nanti umi lihat ya". Saya tersadar begitu jauh jarak antara anak ini dengana sosial media. Sehingga, saat sepupunya memperkenalkannya, dia seperti mendapat mainan baru tanpa tahu dampak jangka panjang yang ada jika tidak mendapatkan panduan serta bimbingan dari kami.
Sampai akhirnya, suami saya berinisiatif untuk membuatkan akun instagram untuknya. Hal ini pada akhirnya dilakukan agar, dia tidak jauh tertinggal dari teman - temannya tapi tetap kami arahkan dalam batasan batasan positif dan tentunya pantauan orangtua. Dapat dibayangkan senangnya Malika saat tahu kami membuatkannya akun instagram, dia mulai bereksplorasi siapa saja temana, kerabat dan saudara bahkana idolanya yang punya akun sosial media. Dia mulai bertransformasi menjadi sangat mirip dengan kami para orangtua, yang tertawa bahagia dan penasaran saat melihat teman - temannya memposting aktifitas dan hobinya.
Namun kami tetap memberikan batasan serta pengawasan yang ketat buat Malika. Seperti memberikan aturan DO and DONTS dalam bermain Instagram. Dia juga memiliki waktu - waktu khusus seperti sabtu dan minggu saja untuk bisa melihat sosial media. Semua postingan juga kami filter, agar tidak bablas gak karuan, tentunya hanya saya dan suami yang mengetahui pasword untuk log in nya. So far, semua berjalan dengan baik. Sang anak Happy karena akhirnya memiliki akun sosial media pertamanya, dan orangtua dapat bernafas lega karena semua tetap dalam lingkaran keamanaan bersosial media.
Kalau kalian sudah baca tulisan ini, boleh lho follow akun Instagram Malika di link ini!
Apakah ada diantara teman - teman yang mengalami dilema serupa dengan kami, antara anak dan teknologi? Share di kolom komen ya!
Namun kami tetap memberikan batasan serta pengawasan yang ketat buat Malika. Seperti memberikan aturan DO and DONTS dalam bermain Instagram. Dia juga memiliki waktu - waktu khusus seperti sabtu dan minggu saja untuk bisa melihat sosial media. Semua postingan juga kami filter, agar tidak bablas gak karuan, tentunya hanya saya dan suami yang mengetahui pasword untuk log in nya. So far, semua berjalan dengan baik. Sang anak Happy karena akhirnya memiliki akun sosial media pertamanya, dan orangtua dapat bernafas lega karena semua tetap dalam lingkaran keamanaan bersosial media.
Kalau kalian sudah baca tulisan ini, boleh lho follow akun Instagram Malika di link ini!
Apakah ada diantara teman - teman yang mengalami dilema serupa dengan kami, antara anak dan teknologi? Share di kolom komen ya!
Zaman skrg anak2 pun sdh ber IG ria...hehe...mmg betul teh hrs ada aturan2 nya...:)
BalasHapusAnk2 ku jg semua sdh pd punya tuh :D
iya mak, kalau gak dikasih aturan aduhhh serem. saling follow yuk akun anak - anak, follow akun anakku ya mak @malika_journey
HapusHihihihi cinta di tangan twitter ini mah judulnya hahaha.. btw goodluck ya Malika. Be good always!
BalasHapushahaha, bagus jadi judul FTV ya maaak
HapusBener banget mba dilema ortu jaman millenial ya^^ kalau saya bikin akun anak engga ya, wong punya akun 1 aja udah agak males bukanya hehe enggak beejiwa admin nih...btw saya dan suami juga kenal di fb kok hehe tfs ya swmoga kita enggak candu apalagi saat ketemu orang, harus ada di dunia nyata^^
BalasHapushahaha, kalau si mak judulnya Cintaku berawal dari Facebook yaaa
HapusWalau sudah fasih menggunakan social media, anak-anak masih belum fasih memfilter apa yang baik dan tidak untuknya. Orang tua wajib banget mendampingi. Good steps for you & your daughter Mbak ^^
BalasHapusnuhunnn! :)
HapusSaya juga dilema mak, anak-anak saya belikan mereka mainan atau buku mewarnai agar kegiatan mereka teralihkan.
BalasHapussaya juga sempat seperti itu. tapi pada akhirnya bosenn.. untungnya malika senang olahraga jadi bisa teralihkan
HapusSetuju, aturan dan pendampingan memang perlu untuk sosmed
BalasHapusiya mbak, memang kalau agk diijinakn anak jadi nanti gak ada bahan omongan krn mereka bakal cerita tentang gadget mereka, nah jalan tenagnhya diberi tp di bawah pengawasan ortu ya
BalasHapusiya di sekolah teh suka kejam anak2 seumuran mereka kalau berbeda dikiit aja.. bisa diledek gak gaul lah.. ga seru lah.. hiks
HapusBelum punya anak jadi ga tahu dilemanya Teh :)
BalasHapushahaha, yaaa paling gak punya bayangan yaa teh kalau nanti punya anak di jaman yg lebih maju lagi technologynya
HapusDuh, Teh.
BalasHapusGimana caranya biar anak ngga punya gadget sendiri?
Cara neranginnya gimana biar dia ngerti?
Sepupu saya kelas 4 SD, sama sekali ngga bisa lepas dari handphone. Lagi lebaran pun yang lain lari-lari di halaman, dia mah tiduran aja di sofa sambil maen gadget.
Sedih banget :'(
aduh itu kalau sudah kadung lengket gituu susaahh hiks. orgtua harus bener2 nyediain waktu buat mengajak anak bermain di luar ruangan atau aktifitas rumah yang mengalihkan dia dari gadget. tapi ya ituu.. orgtua harus selalu "ada" utk bantu anak lepas dari ketergantungannya
HapusSama, Teh. Saya ngalamin dilema ini juga
BalasHapussemoga anak2 bisa belajar untuk lebih suka main sama teman2 nya diluar rumah spt kita2 dulu yaaa daripada lengket sama gadget
Hapuskeponakan suami juga udah punya fb n IG teh.. eh umur brp y? th ini masuk smp..
BalasHapusnah itu harus diawasi mak, karena FB lebih serem lho kalau gak diawasin. hiks aku ga berani mengijinkan anakku punya facebook
Hapus