source : pexels.com |
Dulu saat
baru mengetahui bahwa saya terinfeksi HIV, saya memutuskan untuk tidak terlalu focus
dengan urusan percintaan. Eh, emang dasar ya manusia.. “Aku tak apaaa.. tanpa
cinta..” nyatanya, diperhatiin dikit sama orang lain, langsung baper (kebawa
perasaan). Saya mulai menjalin hubungan dengan 3 orang pria di 3 tahun awal
saya mengetahui status HIV. And guess what, saya memilih untuk berhubungan
dengan mereka yang hidup dengan HIV saja. Main aman bahasanya mah, saya gak
perlu khawatir dengan adanya penolakan, saya juga gak perlu mengajari mereka
apa itu HIV AIDS dan lain sebagainya Karena mereka pun menjalani hidup yang
sama dengan saya.
Kesamaan
status kesehatan dan nasib sebagai kelompok yang masih saja dipinggirkan, tidak
menjamin kelanggengan hubungan (tsahhhhelaaahhhh Bahasa gue). Sama aja lah
dengan pasangan – pasangan lain yang pasti ada ketidakcocokan, sehingga kedua
belah pihak memutuskan untuk mengakhiri hubungan tersebut. Saya, selalu menjadi
orang pertama yang mengakhiri setiap hubungan yang saya jalani. Alasannya
bermacam – macam, ada yang tidak cocok, ada yang selalu melakukan kekerasan
dalam masa pacarana, ada juga yang tertangkap basah oleh saya masih menggunakan
narkoba. Dari semua alasan tersebut, tujuan utama saya kembali menjalin
hubungan adalah ingin memiliki kawan yang bisa menjadi tempat berbagi, dan
tentunya bisa menyayangi Malika, putri saya. Tapi dengan factor – factor ketidakcocokan
yang saya temui, saya jadi berfikir panjang saat ingin kembali memulai suatu
hubungan.
Saat kondisi kehidupan
sudah jauh lebih baik, baik dari sisi kesehatan, financial dan penerimaan diri
akan situasi HIV. Saya memutuskan untuk membuka diri dan berkawan dengan lebih
banyak teman yang tidak ada dalam circle HIV. Mereka tidak terinfeksi HIV,
mereka tidak memiliki latar belakang pengguna narkoba, kebanyakan sangat awam
dengan HIV. Dari sana, saya selalu berusaha menjadi diri saya sendiri. Saya
tidak menutup – nutupi bahwa saya terinfeksi HIV, they know me.. they know my
story. Awal yang baik dari sebuah hubungan adalah tentunya pertemanan yang baik
tanpa adanya embel – embel. Dan pada akhirnya, saya mencoba berhubungan dengan
beberapa pria yang tidak terinfeksi dan nyaman – nyaman saja memiliki kekasih seorang
yang terinfeksi HIV. Tapi cinta memang tidak bisa selalu dipaksakan, saya yang
picky dan sangat perfectsionist ini pada akhirnya mengkandaskan semua hubungan –
hubungan tersebut, Karena alasan ketidakcocokan.
Sampai
akhirnya saya memutuskan untuk menyerah, capek banget menjalin hubungan yang
tidak kunjung menemukan kecocokan. Saat itu saya memutuskan untuk tidak
berhubungan dengan siapapun, dan tidak membuat perencanaan – perencanaan apapun
kedepannya terkait masalah percintaan. Tapi kita manusia Cuma bisa berencana,
dan Tuhan jua lah yang menentukan. Saya kemudian dipertemukan dengan Febby
dalam sebuah momen kerja, dimana kami harus sering berkomunikasi. Saking
dekatnya, kami jadi banyak ngobrol dan bertukar pikiran soal apapun, bukan Cuma
soal pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kami berdua. Febby kebetulan seorang
wiraswasta yang menekuni industry kreatif di Kota Bandung, kota kelahirannya;
padahal sebenernya dia orang Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Komunikasi yang intens akhirnya membuat kami dekat, dan
memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius.
Eits,
hubungan kita berdua ga mulus mulus amat lho. Khususnya Karena Febby bukan ODHA
(sudah di tes HIV, hasilnya negative sampai sekarang.. hehehe), dia tidak
berasal dari lingkungan aktifisme HIV, sehingga ada beberapa cara pandang serta
prinsip yang tentu nya jauh berbeda. Butuh waktu sekitar 1 tahun bagi kami
untuk saling mengenal, dan bagi saya yang terpenting adalah bagaimana
mendekatkan Febby dengan Malika serta membuat Febby memahami persoalan HIV
tidak hanya cangkangnya saja, tapi sampai kedalam. Beruntungnya Febby adalah
tipikal orang yang berpikiran terbuka, mau belajar dan mampu menerima
perbedaan. Sehingga, proses saling mengenal tadi meskipun tidak mulus..
berjalan dengan baik sampai akhirnya kami berdua memutuskan untuk menikah.
Tantangan
yang cukup berat lainnya adalah menyampaikan fakta – fakta mengenai persoalan
HIV, bahwa sesungguhnya hidup berdampingan atau menjadi pasangan seorang yang
terinfeksi HIV itu gak sulit. Hanya harus tahu, batasan dan aturan mainnya.
Saya kemudian memberikan blue print mengenai apa yang biasa saya lakukan setiap
bulannya ke dokter, mengenai konsultasi rutin, kemudian ritual minum ARV seumur
hidup, lalu rutinitas pemeriksaan darah yang harganya gak murah sehingga saya
harus rajin menabung, kemudian kondisi kekebalan tubuh yang lebih lemah
sehingga masih ada peluang terkena infeksi dan penyakit lain dari dalam dan
luar tubuh sampai ke bagian penting jika mau menikah dan memiliki keturunan.
Sampai hari
ini saya gak pernah nanya apakah dia pusing dengan itu semua, (kayaknya sih iya,
hahahaha) tapi so far.. meskipun suka rada bingung dan kaget, alhamdulilah
Febby mampu menerima dan menjalani kehidupan barunya bersama seorang perempuan
yang terinfeksi HIV hingga tahun ke 3 pernikahan. Komunikasi kami berjalan
normal dan baik sama halnya dengan pasangan lainnya, meski Febby cenderung
lebih pendiam dan tidak banyak bicara -sebanyak saya-.
Sampai di
titik ini saya merasa bahwa menjadi seorang yang terinfeksi HIV tentunya
memiliki tantangan yang cukup berat dalam hal mencari pasangan. It takes 5
years for me to find the right one. Tentunya dengan bumbu berupa cobaan cobaan
kecil yang kita sadari atau tidak. Kunci utama dari semua adalah berfikir
jernih, dan mengetahui skala prioritas bagi hidup. Sehingga kalau pas kita
putus cinta, kandas harapan menjalin hubungan dengan seseorang tidak lantas
membuat kita putus asa dan jatuh sakit. Kita harus tahu bahwa hal yang paling
penting dalam hidup ini adalah diri kita sendiri, baru kita memikirkan
kebahagiaan orang lain. Harusnya, saat kita yang sudah bahagia saat sendiri
tanpa pasangan… kemudian mendapat pasangan, akan menjadi lebih bahagia. Kunci
yang tidak kalah penting lainnya adalah kejujuran. Kalau sejak awal kita sudah
tidak jujur dengan pasangan kita, ahh mau dibawa kemana hubungan kitaa..
(tsahhh.. ada lagunya lho). Dan jika sejak awal ternyata pasangan gak bisa
menerima status kesehatan kita, jangan khawatir, jangan takut dan jangan
bimbang.. Masih banyak sekali orang yang bisa mencintai dan menyayangi kita
sekaligus menerima kondisi kesehatan kita.
Wis,
curhatanya udah yak. Jangan galau – galau lah, edan nanti! Hahaha..
Jaga kesehatan
terus, enjoy my blog! LOVEEE!!
Selamat yo mbak... kisahnya manis hehehe,,,
BalasHapusBakalan jd pembaca setia tulisan mbak e ini..
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus