sumber : pexels.com |
Satu bulan
terakhir ini saya dibuat bingung setengah mati, oleh dokter, oleh kebijakan
pemerintah dan tentunya bingung oleh diri sendiri. Kebingungan ini mengenai keputusan
menyusui dan tidak menyusui yang hingga tulisan ini diposting di blog, saya
masih berusaha membulatkan hati.
Pasti banyak yang bertanya-tanya kenapa saya sebingung
itu? Alasan utamanya Karena saya hidup dengan virus HIV selama
8 tahun terakhir ini. Maka segala keputusan yang saya ambil terkait urusan
kesehatan, dan kebaikan orang lain yang terdampak (dalam hal ini bayi saya
nanti) harus saya putuskan sebaik dan sematang mungkin.
Mungkin
banyak juga yang kemudian bertanya, memangnya kalau sudah terinfeksi HIV gitu
boleh hamil? Terunya kalau sudah hamil memangnya boleh menyusui, bukankah
nantinya akan menularkan kepada bayi yang dikandungnya? Jawabnya bisa dan
boleh, boleh hamil.. boleh menyusui.. TAPI, syarat dan ketentuan berlaku ya.
Maksudnya, ada persyaratan khusus yang wajib dipenuhi oleh sang ibu dan dan pasangannya,
saat hendak merencanakan untuk mempunyai anak. Persyaratannya diantaranya
adalah yang terinfeksi HIV wajib untuk menjalani terapi ARV minimal 6 bulan,
tidak dalam kondisi AIDS (memiliki banyak penyakit penyerta), jumlah kekebalan
tubuh / CD4 nya diatas 350 dan jumlah virus HIV dalam tubuhnya tidak
terdeteksi. Pastikan kita mengkonsultasikan semua hal yang saya jelaskan di
paragraph ini kepada dokter, jangan mentang – mentang sudah baca dan paham..
main ambil keputusan sendiri ya.
Singkat
cerita, saya dan pasangan saya yang (alhamdulilah) tidak terinfeksi HIV ini
merencanakan dengan baik dan matang kehamilan saya. Karena kami menginginkan
keluarga yang sehat dan berkualitas, saya sebagai yang terinfeksi HIV tetap
sehat, suami dan anak tidak tertular HIV dan juga tetap sehat tentunya. Saat
ini, usia kehamilan saya sudah memasuki 23 minggu, hampir 6 bulan ya. Kalau
ditanya rasanya ya sama persis seperti ibu hamil lainnya, yang membedakan hanya
saya harus mengkonsumsi Anti Retroviral Terapi untuk menjaga agar bayi saya
tidak tertular HIV semenjak di dalama kandungan hingga lahir nanti.
Lalu
bagaimana dengan Keputusan Menyusui dan Tidak Menyusui tadi? Nah itu dia.
Sebetulnya dalam pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak yang dibuat
oleh kementerian kesehatan, tertulis dengan jelas bahwa boleh ibu HIV menyusui
bayinya jika ibu menjalani terapi ARV, tidak dalam kondisi AIDS (memiliki
banyak penyakit penyerta), jumlah kekebalan tubuh / CD4 nya diatas 350 dan
jumlah virus HIV dalam tubuhnya tidak terdeteksi. Disamping itu, bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan HIV nantinya akan diberikan profilaksis (obat
pencegahan berupa, 1 jenis ARV) selama masa penyusuan dilakukan yang mana tidak
boleh lebih dari 6 bulan, serta tidak boleh di mix dengan makanan dan susu
formula.
Lalu apa yang
bikin bingung? Kami (saya dan suami) tentunya bukan hanya mempersiapkan
kehamilan ini dengan baik, tapi juga mau memberikan yang terbaik bagi si bayi
yang akan dilahirkan nanti. Salah satunya adalah kami ingin sekali anak kami
mendapatkan ASI, meskipun hanya 6 bulan lamanya. Lalu dalam rangka
mempersiapkan yang terbaik, kami datang ke kelas laktasi yang diselenggarakan
salah satu klinik di Bandung. Kami mencari informasi sebanyak – banyaknya
sampai kami rasa yakin betul, bahwa segala sesuatunya akan berjalan aman dan
lancar.
Kemudian kami
juga bertemu dengan beberapa dokter yang biasa menangani HIV di Kota Bandung,
mulai dari dokter anak dan dokter tempat kami biasa curhat untuk meyakinkan
diri kami lagi bahwa tekad kami bulat untuk memberikan ASI kepada si bayi.
Keraguan muncul saat ternyata diluar dugaan saya, dokter anak tidak
merekomendasikan pemberian ASI, dia tidak ingin ada resiko sekecil apapun
meskipun kondisi si ibu baik. Malamnya setelah bertemu dengan sang dokter saya
menangis, sambil memeluk suami saya. Saya sedih sekali Karena saya berharap
dokter tersebut tidak sepemahaman dengan apa yang saya pelajari, dan bahkan
sudah menjadi ketentuan dari kementerian kesehatan. Lalu kami bertemu dengan
dokter lainnya, yang memberikan pencerahan bahwa dia mendukung penuh keputusan
saya. Karena pada dasarnya, jika semua persyaratan medis diikuti dijalani
dengan benar, dan saya memastikan metode pemberian ASI dilakukan dengan tepat,
maka semestinya tidak ada keraguan lagi. Hati saya sedikit tersenyum dan lega
dengan kabar ini.
Suami
meskipun sudah ikut kelas laktasi terlihat masih sedikit bingung, tapi
mendukung keputusan saya dengan segenap hati. Sampai hari ini kami sama – sama
berusaha mempersiapkan yang terbaik bagi bayi kami saat lahir nanti, termasuk
komunikasi dengan dokter terkait profilaksis ARV yang akan dikonsumsinya
setelah dilahirkan nanti. Bahkan dokter saya menyarankan saya untuk menjalankan
shalat istikharah agar keputusan yang saya ambil nanti, siring dengan ridho Sang
Maha Pencipta. Ahhh, bismillah ya man teman.. semoga kami bisa mengambil
keputusan yang paling baik buat si jabang bayik nanti.
Nah, bagi kawan - kawan perempuan yang hidup dengan HIV, yang (kebetulan) baca blog saya, jangan pernah lupa kalau kita punya kesempatan yang sama meskipun tetap memiliki resiko yang sangaaattt kecil. Kunci terpenting dari semuanya adalah kepatuhan ARV, sehingga kondisi kekebalan tubuh kita stabil dan dapat memproteksi tubuh dari bahaya virus HIV, dan juga si virus tentunya tidak akan terdeteksi. Komunikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan keputusan kesehatan anda dengan dokter ya, saya bukan dokter soalnya. Thanks for read!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar