Hai, hari ini saya akan bercerita tentang obat - obatan yang saya minum setiap harinya. Yup, seperti yang ada di judul tulisan hari ini. Kenapa saya mau bercerita soal ARV? Karena ada banyak hal tentang obat ini yang dipahami dengan salah oleh banyak orang. Bahkan ada banyak pihak yang bilang bahwa ARV adalah salah satu penyebab kematian mereka yang terinfeksi HIV. Kesalahpahaman ini kemudian dipelihara, disebarluaskan dan dimaknai oleh mereka yang kosong dan tidak mengerti apa - apa. Sehingga, semakin banyak sahabat - sahabat saya yang terinfeksi HIV, meninggal karena memutuskan untuk tidak mau lagi mengkonsumsi ARV. Rumors soal ketidakefektifan ARV ini, seharusnya bisa kita cegah dengan mulai membicarakan manfaat - manfaat serta peluang dan kebaikan yang ditimbulkan setelah mengkonsumi ARV.
Itu sebabnya, hari ini saya memutuskan untuk lebih banyak bercerita soal ARV itu sendiri, perjalanan saya minum obat, suka duka, dan manfaat besar yang saya rasakan selama hidup dengan HIV. Oh iya, tulisan hari ini adalah murni pemahaman sebagai pasien, saya bukan dokter, atau ahli atau pakar. Pengalaman mengkonsumsi obat tersebut, pengalaman mendampingi teman - teman yang hidup dengan HIV, serta ditambah dengan komunikasi yang intens dengan para pakar, ahli dan dokter di bidang HIV. Jadi, jika ada pertanyaan terkait medis dari kawan - kawan semua yang membaca tulisan ini, akan saya tanyakan terlebih dahulu pada dokter saya, tidak akan serta merta saya jawab jika saya tidak tahu dan tidak paham.
Perjalanan mengkonsumsi ARV saya cukup panjang, tapi saya akan coba mulai menceritakannya dengan detail dan spesifik. It starts at 2009, saat saya baru mengetahui bahwa saya dan almarhum suami terinfeksi HIV. Saat diketahui terinfeksi HIV, saya tidak langsung mengkonsumi ARV. Ada beberapa hal yang harus saya lakukan sebelum itu. Pertama adalah melakukan serangkaian pemeriksaan darah dan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti pemeriksaan CD4 (Jumlah Kekebalan tubuh), Pemeriksaan Infeksi Penyerta (Hepatitis C, Citomegalo Virus - CMV, Toksoplasma, Tubercolosis, dll), serta pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati (SGOT/SGPT) dan Fungsi liver. Seluruh pemeriksaan itu dilakukan oleh dokter untuk memeriksa apakah saya memiliki penyakit lain yang harus diobati terlebih dahulu, juga diketahui berapa jumlah CD4 dan kondisi darah di tubuh saya. Nah, di tahun 2009 tersebut ternyata saya diketahui memiliki beberapa penyakit seperti Hepatitis C, Tuberculosis, dan CMV. Tapi CD4 saya masih sangat baik, sekitar 300 copy/ml dalam darah. Sehingga prioritas dokter saat itu adalah mengobati tuberculosis saya hingga tuntas. Sedangkan untuk CMV, tidak ada hal yang parah dan urgent untuk ditindak, pesan dokter hanya menjaga agar CD4 saya jangan sampai turun ke angka 50, maka virus CMV akan aktif dan menyerang bagian mata saya. Sedangkan Hepatitis C, kami sekeluarga memutuskan untuk menunda pengobatan dikarenakan obat yang sangat mahal harganya, seharga 1 buah mobil Kijang Innova untuk terapi selama 1 tahun.
Di akhir tahun 2009 setelah 9 bulan pengobatan TB, saya dinyatakan sembuh oleh dokter setelah serangkaian pemeriksaan darah, spultum/dahak dan ronsen. Namun selama pengobatan TB dilakukan, saya belum konsumsi ARV sehingga jumlah kekebalan tubuh saya semakin menurun hingga ke angka 105 copy/ml darah. Dan belakangan saya diketahui terkena virus herpes di bagian pinggang, karena mungkin hidup yang gak bersih. Sehingga, pada tahun 2010 dokter memutuskan untuk memberikan saya ARV sekaligus mengobati Herpes saya. Pukulan telak di awal tahun 2010, karena harus mengkonsumsi begitu banyak obat. Obat Herpes, yakni Acyclovir tablet dan salep harus saya konsumsi selama 4 bulan. Obatnya diminum setiap 4 jam, sebanyak 2 butir sambil diolesi salepnya. Selain itu, saya juga harus mulai mengkonsumsi ARV saya, yang di tahun 2010 saya mendapatkan 3 jenis Stavudine, Lamivudine dan Efavirenz.
Obat Stavudine dan Lamivudine dikonsumsi 2 kali sehari setiap 12 jam, sedangkan obat Efavirenz dikonsumsi sekali sehari saja. Saya harus mulai mengatur waktu minum obat, karena ARV tidak boleh terlambat diminum, dan jangan sampai terlupa. Sehingga, Alarm handphone menjadi sangat berguna untuk mengingatkan saya jam minum obat. ARV ini dikonsumsi seumur hidup oleh mereka yang terinfeksi HIV, karena berfungsi untuk mencegah pertumbuhan virus HIV di dalam darah dan mengembalikan kondisi tubuh menjadi sehat kembali. Kondisi saya semakin baik, di 6 bulan pertama saya mengkonsumi ARV, jumlah kekebalan tubuh saya pulih dari 105, menjadi 400. Berat badan saya pun meningkat pesat yang semula 35 Kg, menjadi 50 kg dalam kurun waktu satu tahun.
Namun, di akhir tahun 2012 saya harus mengganti salah satu jenis obat yang saya gunakan yakni obat jenis Stavudine menjadi Zidovudine. Ini semua dikarenakan efek samping jangka panjangnya yang berbahaya pada ODHA (orang yang hidup dengan HIV). Hal ini pun dibenarkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), bahwa obat ini sudah tidak layak digunakan pada mereka yang terinfeksi HIV. Sehingga, kementerian kesehatan mengeluarkan surat edaran dimana obat ini kemudian tidak akan dibeli lagi oleh pemerintah, seluruh pasien HIV yang masih menggunakan stavudine akan perlahan diganti oleh jenis obat lainnya. Lihat disini : Video Testimoni Efek Samping Obat Stavudine dan baca juga salah satu berita tentang Pemerintah tarik obat Stavudine.
Awal tahun 2013, saya mengkonsumi ARV jenis Zidovudine, Lamivudine dan Efavirenz. Dengan cara konsumi yang sama. Peningkatan jumlah kekebalan tubuh pun saya rasakan meningkat pesat dengan significan sejak awal terinfeksi HIV. Saya yang kebetulan memiliki semua copy-an hasil pemeriksaan darah bisa melihat perkembangannya; Pemeriksaan 29-04-2011 Hasil CD4 790 / 31%, Pemeriksaan 31-07-2012 Hasil CD4 1144/33% serta Hasil Pemeriksaan Viral Load Undetectable / Tidak Terdeteksi.
Di awal tahun 2013, saya mulai berulah. Saya menyadari betul bahwa semestinya saya mempertahakankan kondisi kesehatan saya sebaik mungkin. Saya juga mengetahui aturan - aturan bahwa ARV wajib diminum seumur hidup dan tidak boleh terlambat. Namun salah satu efek samping obat Efavirenz, mengalahkan kekuatan hati saya. Efeknya yang membuat pusing membuat saya tidak tahan, sehingga saya mulai minum obat dengan waktu yang tidak teratur. Saya minum Efavirenz setiap saya mau tidur malam, di waktu yang tidak menentu. Kadang jam 9, jam 10, bahkan kadangkala jika insomnia saya datang saya bisa minum jam 2 pagi. Hingga di pertengahan tahun 2013, saya mulai kembali gampang sakit. Mulai dari Batuk, pilek, demam, diare, dan kulit yang sulit sekali sembuh jika luka, digigit serangga atau gatal. Saya kemudian sadar, bahwa ini adalah akibat dari kelalaian saya minum obat tidak teratur di jam yang sama yang telah ditentukan. Saya memutuskan untuk memeriksakan kembali CD4 saja dan hasilnya cukup mengecewakan; Pemeriksaan 02-11-2013 Hasil CD4 701 / 25%, Pemeriksaan 25-03-2014 548 / 24%, Pemeriksaan 23-06-2014 549 / 23%, Pemeriksaan CD4 04-11-2014 422 / 22% dan Pemeriksaan Viral Load 08-04-2014 196.000 Copy/ml, Pemeriksaan Viral Load 05-04-2015 177.000 Copy/ml. Teman - teman bisa melihat kondisi kekebalan tubuh saya yang menurun dari tahun 2012 sampai tahun 2014 tersebut.
Tahun 2014, saya memutuskan untuk pindah ke Bandung setelah menikah dengan suami saya yang sekarang. Disaat yang bersamaan saya juga pindah Rumah sakit, dari RSUP Fatmawati ke RS Hasan Sadikin di Bandung. Di RSHS ini, saya mendapatkan penanganan Intensif dari dokter, khususnya karena kepindahan saya membawa segudang masalah yang kemudian dinyatakan oleh dokter kemunginan saya mengalami resistensi. Obat yang sebelumnya saya konsumsi, sudah tidak bisa bekerja dengan maksimal di dalam darah saya untuk melindungi diri saya dari serangan virus HIV yang kembali merajalela. Sehingga pada tahun 2015, setelah rangkaian uji coba perbaikan kepatuhan dan pemeriksaan darah yang tidak kunjung membaik, dokter akhirnya kembali mengganti regimen obat saya menjadi Tenovovir, Lamivudine dan Aluvia. Ini seperti kembali ke tahun 2010 dimana saya harus memulainya dari nol. Merasakan kembali efek samping di awal terapi dan menikmatinya.
Cara minum obatnya sama, namun ada beberapa waktu yang berbeda. Seperti Tenofovir dikonsumsi sekali sehari, Lamivudine diminum dua kali sehari setiap 12 jam, dan Aluvia diminum 2 butir dua kali sehari setiap 12 jam juga. Sehingga total obat yang saya konsumsi adalah sebanyak 7 butir. Enak? Enggak. Menyesal karena tidak mematuhi perintah dokter sehingga saya harus mulai lagi dari awal. Tapi, kali ini saya bertekad sepenuh hati untuk menjaga kondisi kesehatan saya semaksimal mungkin. Tidak terlambat minum obat, selalu minum obat setiap hari. Tentunya kali ini dengan dukungan suami dan anak. It feels much better when there is people aroung who always support you! 4 bulan setelah mengganti regimen obat, dokter meminta saya untuk melakukan pemeriksaan CD4. Its absolutely amazing, hasilnya luar biasa. Pemeriksaan tanggal 03-07-2015 873 / 32%, peningkatan 40 digit yang luar biasa.. dan bukan hanya sekedar angka. Rasanya kondisi saya semakin membaik, tidak lagi gampang sakit, dan lebih kuat dari sebelumnya.
Kondisi semakin membaik karena saya mendapat kesempatan dan dukungan pendanaan untuk menjalani terapi Hepatitis C. Biaya yang murah dulu menjadi penyebab saya menunda pengobatan, kali ini denga support dari Indonesia AIDS Coalition saya menjalani terapi Hepatitis C. Pada awal tahun 2016 pengobatan saya selesai dengan baik juga hasil yang luar biasa membahagiakan. Baca Tulisan saya disini : Good News, Saya sembuh dari Hepatitis C. Ada beberapa ujian yang masih saya harus tempuh di tahun 2016 ini dimana saya dinyatakan memiliki Fibroadenoma Mamae atau Tumor Payudara, meski bersifat jinak tapi tetap harus diangkat. Ini merupakan operasi FAM kedua saya setelah 15 tahun yang lalu saya pernah juga menjalani operasi FAM serupa. Baca Tulisan saya disini : Setelah 15 tahun , Fibroadenoma Mamae Lagi.
Ujian demi ujian sejak tahun 2009 berbuah hasil yang baik, yakni pelajaran berharga dimana saya gak boleh main - main sama urusan kesehatan saya. Di tahun ini, saya kembali melakukan pemeriksaan darah dimana hasilnya adalah; Pemeriksaan CD4 tgl 02-06-2016 1.131 / 32,56% dan Pemeriksaan Viral Load hasilnya adalah Tidak Terdeteksi. Hal ini meyakinkan kami untuk memutuskan menjalani program kehamilan sejak bulan Maret 2016 dimana saya mulai menghitung masa subur saya. Dan Taraaaa.. here I am.. Pregnant and Happy! Saya harus tetap mengkonsumsi ARV seumur hidup saya, bukan hanya untuk kesehatan saya, tapi untuk si jabang bayik dan pasangan saya agar mereka semua tidak tertular virus HIV.
Eits Tulisan ini belum selesai lho! Saya akan buat lagi tulisan penyerta tentang, efek samping obat, how to deal with it, tentang obat obat herbal yang berseliweran di sosial media yang katanya mampu menyembuhkan HIV.. (ahh, come on..) dan how we should fight our fear dan menjalani pengobatan ARv dengan semangat baja. Tapi tunggu dapat mood dan gak mual mual yaaak! Semoga tulisan saya hari ini bisa jadi pelajaran berharga buat temen - temen ODHA, trust me.. ARV true helps me a lot!
Keep follow my story, Semoga terinspirasi dan bisa jadi lebih baik dari saya ya!
Laff yaaah!!
Di akhir tahun 2009 setelah 9 bulan pengobatan TB, saya dinyatakan sembuh oleh dokter setelah serangkaian pemeriksaan darah, spultum/dahak dan ronsen. Namun selama pengobatan TB dilakukan, saya belum konsumsi ARV sehingga jumlah kekebalan tubuh saya semakin menurun hingga ke angka 105 copy/ml darah. Dan belakangan saya diketahui terkena virus herpes di bagian pinggang, karena mungkin hidup yang gak bersih. Sehingga, pada tahun 2010 dokter memutuskan untuk memberikan saya ARV sekaligus mengobati Herpes saya. Pukulan telak di awal tahun 2010, karena harus mengkonsumsi begitu banyak obat. Obat Herpes, yakni Acyclovir tablet dan salep harus saya konsumsi selama 4 bulan. Obatnya diminum setiap 4 jam, sebanyak 2 butir sambil diolesi salepnya. Selain itu, saya juga harus mulai mengkonsumsi ARV saya, yang di tahun 2010 saya mendapatkan 3 jenis Stavudine, Lamivudine dan Efavirenz.
Obat Stavudine dan Lamivudine dikonsumsi 2 kali sehari setiap 12 jam, sedangkan obat Efavirenz dikonsumsi sekali sehari saja. Saya harus mulai mengatur waktu minum obat, karena ARV tidak boleh terlambat diminum, dan jangan sampai terlupa. Sehingga, Alarm handphone menjadi sangat berguna untuk mengingatkan saya jam minum obat. ARV ini dikonsumsi seumur hidup oleh mereka yang terinfeksi HIV, karena berfungsi untuk mencegah pertumbuhan virus HIV di dalam darah dan mengembalikan kondisi tubuh menjadi sehat kembali. Kondisi saya semakin baik, di 6 bulan pertama saya mengkonsumi ARV, jumlah kekebalan tubuh saya pulih dari 105, menjadi 400. Berat badan saya pun meningkat pesat yang semula 35 Kg, menjadi 50 kg dalam kurun waktu satu tahun.
Namun, di akhir tahun 2012 saya harus mengganti salah satu jenis obat yang saya gunakan yakni obat jenis Stavudine menjadi Zidovudine. Ini semua dikarenakan efek samping jangka panjangnya yang berbahaya pada ODHA (orang yang hidup dengan HIV). Hal ini pun dibenarkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), bahwa obat ini sudah tidak layak digunakan pada mereka yang terinfeksi HIV. Sehingga, kementerian kesehatan mengeluarkan surat edaran dimana obat ini kemudian tidak akan dibeli lagi oleh pemerintah, seluruh pasien HIV yang masih menggunakan stavudine akan perlahan diganti oleh jenis obat lainnya. Lihat disini : Video Testimoni Efek Samping Obat Stavudine dan baca juga salah satu berita tentang Pemerintah tarik obat Stavudine.
Awal tahun 2013, saya mengkonsumi ARV jenis Zidovudine, Lamivudine dan Efavirenz. Dengan cara konsumi yang sama. Peningkatan jumlah kekebalan tubuh pun saya rasakan meningkat pesat dengan significan sejak awal terinfeksi HIV. Saya yang kebetulan memiliki semua copy-an hasil pemeriksaan darah bisa melihat perkembangannya; Pemeriksaan 29-04-2011 Hasil CD4 790 / 31%, Pemeriksaan 31-07-2012 Hasil CD4 1144/33% serta Hasil Pemeriksaan Viral Load Undetectable / Tidak Terdeteksi.
Di awal tahun 2013, saya mulai berulah. Saya menyadari betul bahwa semestinya saya mempertahakankan kondisi kesehatan saya sebaik mungkin. Saya juga mengetahui aturan - aturan bahwa ARV wajib diminum seumur hidup dan tidak boleh terlambat. Namun salah satu efek samping obat Efavirenz, mengalahkan kekuatan hati saya. Efeknya yang membuat pusing membuat saya tidak tahan, sehingga saya mulai minum obat dengan waktu yang tidak teratur. Saya minum Efavirenz setiap saya mau tidur malam, di waktu yang tidak menentu. Kadang jam 9, jam 10, bahkan kadangkala jika insomnia saya datang saya bisa minum jam 2 pagi. Hingga di pertengahan tahun 2013, saya mulai kembali gampang sakit. Mulai dari Batuk, pilek, demam, diare, dan kulit yang sulit sekali sembuh jika luka, digigit serangga atau gatal. Saya kemudian sadar, bahwa ini adalah akibat dari kelalaian saya minum obat tidak teratur di jam yang sama yang telah ditentukan. Saya memutuskan untuk memeriksakan kembali CD4 saja dan hasilnya cukup mengecewakan; Pemeriksaan 02-11-2013 Hasil CD4 701 / 25%, Pemeriksaan 25-03-2014 548 / 24%, Pemeriksaan 23-06-2014 549 / 23%, Pemeriksaan CD4 04-11-2014 422 / 22% dan Pemeriksaan Viral Load 08-04-2014 196.000 Copy/ml, Pemeriksaan Viral Load 05-04-2015 177.000 Copy/ml. Teman - teman bisa melihat kondisi kekebalan tubuh saya yang menurun dari tahun 2012 sampai tahun 2014 tersebut.
Tahun 2014, saya memutuskan untuk pindah ke Bandung setelah menikah dengan suami saya yang sekarang. Disaat yang bersamaan saya juga pindah Rumah sakit, dari RSUP Fatmawati ke RS Hasan Sadikin di Bandung. Di RSHS ini, saya mendapatkan penanganan Intensif dari dokter, khususnya karena kepindahan saya membawa segudang masalah yang kemudian dinyatakan oleh dokter kemunginan saya mengalami resistensi. Obat yang sebelumnya saya konsumsi, sudah tidak bisa bekerja dengan maksimal di dalam darah saya untuk melindungi diri saya dari serangan virus HIV yang kembali merajalela. Sehingga pada tahun 2015, setelah rangkaian uji coba perbaikan kepatuhan dan pemeriksaan darah yang tidak kunjung membaik, dokter akhirnya kembali mengganti regimen obat saya menjadi Tenovovir, Lamivudine dan Aluvia. Ini seperti kembali ke tahun 2010 dimana saya harus memulainya dari nol. Merasakan kembali efek samping di awal terapi dan menikmatinya.
Baca Juga Yuk : Hasil Test Darah Yang Membahagiakan!
Cara minum obatnya sama, namun ada beberapa waktu yang berbeda. Seperti Tenofovir dikonsumsi sekali sehari, Lamivudine diminum dua kali sehari setiap 12 jam, dan Aluvia diminum 2 butir dua kali sehari setiap 12 jam juga. Sehingga total obat yang saya konsumsi adalah sebanyak 7 butir. Enak? Enggak. Menyesal karena tidak mematuhi perintah dokter sehingga saya harus mulai lagi dari awal. Tapi, kali ini saya bertekad sepenuh hati untuk menjaga kondisi kesehatan saya semaksimal mungkin. Tidak terlambat minum obat, selalu minum obat setiap hari. Tentunya kali ini dengan dukungan suami dan anak. It feels much better when there is people aroung who always support you! 4 bulan setelah mengganti regimen obat, dokter meminta saya untuk melakukan pemeriksaan CD4. Its absolutely amazing, hasilnya luar biasa. Pemeriksaan tanggal 03-07-2015 873 / 32%, peningkatan 40 digit yang luar biasa.. dan bukan hanya sekedar angka. Rasanya kondisi saya semakin membaik, tidak lagi gampang sakit, dan lebih kuat dari sebelumnya.
Kondisi semakin membaik karena saya mendapat kesempatan dan dukungan pendanaan untuk menjalani terapi Hepatitis C. Biaya yang murah dulu menjadi penyebab saya menunda pengobatan, kali ini denga support dari Indonesia AIDS Coalition saya menjalani terapi Hepatitis C. Pada awal tahun 2016 pengobatan saya selesai dengan baik juga hasil yang luar biasa membahagiakan. Baca Tulisan saya disini : Good News, Saya sembuh dari Hepatitis C. Ada beberapa ujian yang masih saya harus tempuh di tahun 2016 ini dimana saya dinyatakan memiliki Fibroadenoma Mamae atau Tumor Payudara, meski bersifat jinak tapi tetap harus diangkat. Ini merupakan operasi FAM kedua saya setelah 15 tahun yang lalu saya pernah juga menjalani operasi FAM serupa. Baca Tulisan saya disini : Setelah 15 tahun , Fibroadenoma Mamae Lagi.
Ujian demi ujian sejak tahun 2009 berbuah hasil yang baik, yakni pelajaran berharga dimana saya gak boleh main - main sama urusan kesehatan saya. Di tahun ini, saya kembali melakukan pemeriksaan darah dimana hasilnya adalah; Pemeriksaan CD4 tgl 02-06-2016 1.131 / 32,56% dan Pemeriksaan Viral Load hasilnya adalah Tidak Terdeteksi. Hal ini meyakinkan kami untuk memutuskan menjalani program kehamilan sejak bulan Maret 2016 dimana saya mulai menghitung masa subur saya. Dan Taraaaa.. here I am.. Pregnant and Happy! Saya harus tetap mengkonsumsi ARV seumur hidup saya, bukan hanya untuk kesehatan saya, tapi untuk si jabang bayik dan pasangan saya agar mereka semua tidak tertular virus HIV.
Eits Tulisan ini belum selesai lho! Saya akan buat lagi tulisan penyerta tentang, efek samping obat, how to deal with it, tentang obat obat herbal yang berseliweran di sosial media yang katanya mampu menyembuhkan HIV.. (ahh, come on..) dan how we should fight our fear dan menjalani pengobatan ARv dengan semangat baja. Tapi tunggu dapat mood dan gak mual mual yaaak! Semoga tulisan saya hari ini bisa jadi pelajaran berharga buat temen - temen ODHA, trust me.. ARV true helps me a lot!
Keep follow my story, Semoga terinspirasi dan bisa jadi lebih baik dari saya ya!
Laff yaaah!!
Semoga senantiasa diberikan kesembuhan total ya mbak...
BalasHapusAmiinn