Lara menyesap dengan khidmat cokelat panas di cangkir putihnya. Minuman yang selalu ada menemani hari - harinya. Jika tidak menemukan cafe yang bisa menyediakan secangkir cokelat hangat, dia biasanya dengan mudahnya melangkahkan kaki ke tukang kopi pinggir jalan. Dengan selembar uang dua ribu rupiah, Lara akan membeli air panas untuk diseduhkan pada sebungkus cokelat panas yang selalu tersedia di tasnya. Gadis ini memang antik, katanya cokelat akan membuatnya tenang sekaligus mengembalikan kebahagiaannya.
Pagi ini dia membutuhkan itu, setelah membaca sebaris pesan di telfon genggamnya yang masuk pukul 3 pagi dini hari tadi. Itu dari Aria. "Lara, sedang sibukkah kamu? Saya perlu bertemu untuk mengklarifikasi beberapa berita untuk rubrik harian saya. Apakah saya bisa membuat janji temu."
Dia sedikit bingung, sembari mengingat - ingat. Adakah wartawan lain yang menghubunginya di pukul 3 pagi, selain Aria. Tidak ada. Lalu Lara menyimpulkan, bahwa pesan singkat Aria bukan untuk membahas apapun yang berhubungan dengan aktifitasnya dengan sampah, atau mengklarifikasi apapun. Ini pasti tentang mereka, yang juga mengganggu Lara beberapa hari ini, setelah pertemuan pertama mereka beberapa hari lalu.
cerita Sebelumnya : Cinta Sang Larasati (3)
***
Lara memandangi tangan kekar yang tengah menggenggam secangkir kopi hitam dihadapannya. Ada beberapa jenis kopi yang biasa dipesannya, tapi tidak jarang juga dia memesan beberapa jenis baru. Tapi jangan pernah kau tuangkan gula pada cangkir kopinya, karena hidup dan kopi pria itu akan selalu serupa. Pahit.
"Kopi mu gak berubah? Tetap kopi hitam yang sama, dan tanpa gula." Tanya Lara singkat, nada suaranya menggambarkan ketegangan. Pria itu malah tersenyum santai, belum menjawab sampai Lara kembali melontarkan pertanyaan.
"Jadi ada perlu apa, sampai kau harus mengirimkan pesan singkat pada pukul 3 pagi."
"Aku, gak bisa berenti memikirkanmu Lara. Sama seperti aku tidak pernah berhenti menyesap setiap cangkir kopi pahitku." Jawab Aria singkat dan tegas.
"Serius kamu? Hahahahaha.. Kita baru ketemu berapa hari ini lho.." Lara membanyol, menyembunyikan rasa gugup karena jawaban Aria membuat jantungnya berdegup kencang.
"Iya setelah sekian tahun kamu menempuh pendidikan-mu, dan menghilang tanpa kabar." Jawab Aria, di sela tegukan kopinya.
"Aria, kita sudah selesai sejak lama. Ndak perlu kita bicarakan lagi, oke" Lara menjawab lalu menelan ludahnya, menyesal akan kalimatnya.
"Oke kalau menurutmu kita sudah selesai, buktikan sama aku." tantang Aria.
"Hah? Buktiin gimana maksud kamu? Gila ah. Aneh-aneh aja" Suara Lara bergetar khawatir.
"Kamu harus bisa mencintai pria lain. Buat aku yakin, bahwa kamu sudah gak mencintaiku Larasati."
"Wah, kamu gak bisa dong mengatur - atur kapan aku harus mencintai seseorang. Bahkan mengatur - atur hatiku." Jantung Lara berdegup, kepalanya menunduk karena dia sadar jawabannya kembali salah.
"Benar kan? Kamu juga gak bisa berhenti memikirkan kita? Sudahlah Lara, kita ini bukan 1 atau 2 tahun saling kenal. I know you."
"Aria.." Suara Lara terpotong dering telepon genggam pria di hadapannya.
Aria melihat sebuah nama terpampang di Layar tersebut. Sarah.
"Hallo." Aria menjawab panggilan telfon itu.
"Sayang, nanti jadi jemput aku kan?" suara Sarah manja di seberang sambungan telfon.
"Jadi." Jawab Aria singkat.
"Kok Suaramu tegang gitu sih? Kamu baik - baik aja?
"Baik kok. Jemput di tempat biasa kan?"
Larasati bangkit dari duduknya, menghampiri kasir dan meletakan beberapa lembar uang lalu pergi meninggalkan Aria yang masih sibuk menjawab panggilan telfon. Mukanya masam, pintu kedai kopi ditutupnya dengan kencang. Deru mobil Katana Hitam, meninggalkan tempat itu. Larasati menangis.
Aria yang masih sibuk dengan Sarah terbengong - bengong karena ditinggalkan Larasati.
"Udah yah, nanti kujemput. Bye" Aria mematikan telfonnya, menghampiri kasir. Biaya kopinya sudah dibayar oleh gadis yang pergi dengan muka masam tadi, kata pelayan kedai. Aria bergegas menuju tempat parkir dan menyalakan motornya. Sial, motornya mati.
Mobil Lara berhenti di ujung bukit. Dia keluar dan membanting pintu mobilnya. Lara berteriak kencang sekali sambil menitikan air mata dari kedua ujung matanya.
"Dasar begooooo!!!! Larasatiiii kok kamu bodoh sekaliiiii.. Sekarang aku harus apaaaaa???"
Gadis itu mencaci maki dirinya sendiri.
Dia menyadari dan menyesali tindakannya beberapa tahun silam tersebut, saat dia memutuskan untuk meninggalkan Aria tanpa kabar dan pesan. Memutuskan hubungan mereka sepihak tanpa alasan. Kini mereka bertemu kembali, dan rasa itu masih ada.
Raut wajah Dewa Asmara tidak karuan dari balik awan, di sisi lain bukit tempat Larasati sedang mencaci maki dirinya. Kekacauan mulai terjadi, ini karena kesalahannya. Panahnya bekerja dengan sangat kuat. Dewa Asmara merasa melakukan kesalahan, karena membuat Lara sedih.
"Kopi mu gak berubah? Tetap kopi hitam yang sama, dan tanpa gula." Tanya Lara singkat, nada suaranya menggambarkan ketegangan. Pria itu malah tersenyum santai, belum menjawab sampai Lara kembali melontarkan pertanyaan.
"Jadi ada perlu apa, sampai kau harus mengirimkan pesan singkat pada pukul 3 pagi."
"Aku, gak bisa berenti memikirkanmu Lara. Sama seperti aku tidak pernah berhenti menyesap setiap cangkir kopi pahitku." Jawab Aria singkat dan tegas.
"Serius kamu? Hahahahaha.. Kita baru ketemu berapa hari ini lho.." Lara membanyol, menyembunyikan rasa gugup karena jawaban Aria membuat jantungnya berdegup kencang.
"Iya setelah sekian tahun kamu menempuh pendidikan-mu, dan menghilang tanpa kabar." Jawab Aria, di sela tegukan kopinya.
"Aria, kita sudah selesai sejak lama. Ndak perlu kita bicarakan lagi, oke" Lara menjawab lalu menelan ludahnya, menyesal akan kalimatnya.
"Oke kalau menurutmu kita sudah selesai, buktikan sama aku." tantang Aria.
"Hah? Buktiin gimana maksud kamu? Gila ah. Aneh-aneh aja" Suara Lara bergetar khawatir.
"Kamu harus bisa mencintai pria lain. Buat aku yakin, bahwa kamu sudah gak mencintaiku Larasati."
"Wah, kamu gak bisa dong mengatur - atur kapan aku harus mencintai seseorang. Bahkan mengatur - atur hatiku." Jantung Lara berdegup, kepalanya menunduk karena dia sadar jawabannya kembali salah.
"Benar kan? Kamu juga gak bisa berhenti memikirkan kita? Sudahlah Lara, kita ini bukan 1 atau 2 tahun saling kenal. I know you."
"Aria.." Suara Lara terpotong dering telepon genggam pria di hadapannya.
Aria melihat sebuah nama terpampang di Layar tersebut. Sarah.
***
"Hallo." Aria menjawab panggilan telfon itu.
"Sayang, nanti jadi jemput aku kan?" suara Sarah manja di seberang sambungan telfon.
"Jadi." Jawab Aria singkat.
"Kok Suaramu tegang gitu sih? Kamu baik - baik aja?
"Baik kok. Jemput di tempat biasa kan?"
Larasati bangkit dari duduknya, menghampiri kasir dan meletakan beberapa lembar uang lalu pergi meninggalkan Aria yang masih sibuk menjawab panggilan telfon. Mukanya masam, pintu kedai kopi ditutupnya dengan kencang. Deru mobil Katana Hitam, meninggalkan tempat itu. Larasati menangis.
Aria yang masih sibuk dengan Sarah terbengong - bengong karena ditinggalkan Larasati.
"Udah yah, nanti kujemput. Bye" Aria mematikan telfonnya, menghampiri kasir. Biaya kopinya sudah dibayar oleh gadis yang pergi dengan muka masam tadi, kata pelayan kedai. Aria bergegas menuju tempat parkir dan menyalakan motornya. Sial, motornya mati.
***
Mobil Lara berhenti di ujung bukit. Dia keluar dan membanting pintu mobilnya. Lara berteriak kencang sekali sambil menitikan air mata dari kedua ujung matanya.
"Dasar begooooo!!!! Larasatiiii kok kamu bodoh sekaliiiii.. Sekarang aku harus apaaaaa???"
Gadis itu mencaci maki dirinya sendiri.
Dia menyadari dan menyesali tindakannya beberapa tahun silam tersebut, saat dia memutuskan untuk meninggalkan Aria tanpa kabar dan pesan. Memutuskan hubungan mereka sepihak tanpa alasan. Kini mereka bertemu kembali, dan rasa itu masih ada.
***
Raut wajah Dewa Asmara tidak karuan dari balik awan, di sisi lain bukit tempat Larasati sedang mencaci maki dirinya. Kekacauan mulai terjadi, ini karena kesalahannya. Panahnya bekerja dengan sangat kuat. Dewa Asmara merasa melakukan kesalahan, karena membuat Lara sedih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar