Meme yang saya dapat di google tentang BPJS |
Agak lama saya mengupdate kembali tulisan saya sebelumnya yang juga bercerita tentang Proses Mengurus BPJS Untuk Operasi FAM yang bisa dibaca disini. Saat ini kondisi kesehatan saya relatif stabil, baru saja pulih setelah hari rabu kemarin ambruk, jatuh sakit sepulang dari menyelesaikan pekerjaan di Jakarta. Badan saya panas dan badan rasanya sakit semua, khususnya di tubuh bagian kanan yang terasa pegal-pegal. Bahkan, pada senin malam tanggal 30 lalu, saya sempat merasa sesak nafas dan kembali nyeri di bagian payudara, saya merasakan FAM nya seperti berdenyut sembari menusuk-nusuk di setiap denyutannya. Malam itu, saya yang sedang berada di Jakarta gak melakukan apapun, saya hanya memaksa mata saya untuk terpejam. Tidur yuk.. tidur.. bisik saya pada diri sendiri.
Saya memilih menulis ini di waktu subuh karena udaranya enak sekali untuk menulis. Karena semalam saya gak bisa tidur, saya menulis di blog dan berselancar di dunia maya hingga pukul 1.30 pagi, lalu saya paksa tubuh ini untuk beristirahat. Proses pengangkatan Fibroadenoma Mamae di tubuh saya masih panjang, masih ada beberapa serangkaian pemeriksaan yang harus saya lakukan. Sambil berkejaran dengan waktu, saya coba untuk mengkonsumsi beberapa obat-obatan herbal yang dikirimkan oleh beberapa kawan. Saya juga sudah mengurangi konsumsi daging ayam dan sapi, lebih banyak makan ikan, tahu dan tempe serta sayur-mayur dan buah.
Sabtu 28 Mei 2016. Saya, suami dan Malika bangun kesiangan, seusai salat subuh kami tidur lagi. Sehingga baru pukul jam 6.30 pagi kami berangkat menuju RSUD Kota Bandung yang terletak di Ujung Berung. Jarak tempuhnya sekitar 13 km dari rumah kami, hari itu butuh waktu sekitar 45 menit. Kami tiba sekitar pukul 7.15, dan saya langsung mengambil nomer antrian pendaftaran ke dokter bedah. Dari pukul 7.15, nomer saya baru dipanggil ke loket pendaftaran sekitar pukul 9.30, karena saya mendapatkan nomer 600-an.
Jarak dari rumah ke RSUD Kota Bandung |
Ternyata, saya harus ke kantor BPJS di RS tersebut dulu untuk minta Acc atau persetujuan pihak BPJS setempat. Duh, saya sempat sedih, pasti antri lama lagi. Tapi ternyata tidak, saya hanya minta tanda tangan petugas BPJS-nya, lalu lembar tersebut diperbanyak dijadikan 2 rangkap dan kembali ke loket untuk diserahkan. Adapun dokumen yang serahkan adalah, KTP, KK, Surat rujukan dari BPJS RS Bungsu. Semuanya saya fotokopi menjadi 2 rangkap. Setelah semua beres, saya mendapatkan kartu pasien dan terdaftar ke Poli Bedah, saya mendapat urutan nomer 33.
Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh, badan saya mulai capek sekali. Febby dan Malika juga pasti lelah harus kesana kemari menemani saya. Di bagian poli, kondisinya gak kalah semrawut. Penuh sekali manusia yang antri di depan masing-masing ruang periksa. Hampir gak tersisa tempat duduk di bagian depan, semua pasien tidak sabar ingin segera diperiksa, mendapatkan perawatan lalu pulang kembali kerumah. Kalau saya, saya hanya butuh surat rujukan dari dokter saja, gak usah periksa saya lagi. Dan itu yang saya lakukan 40 menit kemudian saat nama saya dipanggil oleh petugas di ruang Poli Bedah.
Dengan didampingi Febby dan Malika kami masuk ruangan. Ruangannya sempit, dan ada banyak orang. Ada 2 meja, masing-masing ada seorang dokter yang siap melayani pasien, mungkin agar menghemat waktu. Saya bisa mendengar pembicaraan pasien yang duduk disamping saya, meskipun pada bagian pasiennya tertutup tirai. Saya to the point bilang pada dokter mau minta dirujuk ke RS Hasan Sadikin, dan tanpa basa-basi, dokter langsung membuatkan surat rujukan sambil bertanya keluhan dan masalah saya apa. Dokternya cukup kooperatif dan menyadari bahwa begitu banyak pasien dari luar daerah yang khusus hanya untuk minta surat rujukan saja. Selesai semua surat, dokter meminta saya kembali ke kantor BPJS untuk minta stempel acc BPJS, dan ke Kasir IGD untuk minta stempel rumah sakit. Pukul 11.30 kami pulang kembali karena ada janji bertemu dengan kawan.
Kamis, 2 Juni 2016, Akhirnya saya ke RS Hasan Sadikin. Harusnya saya kesini kemarinnya, hari rabu tanggal 1 Juni, karena ada beberapa pekerjaan yang harus dituntaskan di hari senin dan selasa di Jakarta. Tapi sayangnya, sepulang dari Jakarta saya sakit seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Dan hari kamis pun saya berangkat dengan lunglai, dan semakin lunglai saat tiba di RS Hasan Sadikin pada pukul 7 pagi. Antrian pendaftaran pasien rawat jalan reguler (yang menggunakan BPJS) sudah mengular. Tadinya suami menyarankan saya untuk menggunakan jasa calo nomer yang dia sudah dapat kontaknya dari salah satu kawannya, tapi sampai saya kemudian mengantri orang yang kami maksud tersebut tidak kunjung bisa dihubungi baik melalui sms atau telfon. Saya pasrah dan ikut mengantri.
Saya mendapatkan nomer 649, tubuh saya makin lemas karena belum sarapan. Lalu saya tanya sama satpam yang bertugas disana, kira-kira saya dengan nomer 600-an ini, saya akan mendapat giliran jam berapa, dia jawab sekitar pukul 10 dan itu berarti tiga jam lagi. Sambil sarapan saya berfikir keras, saya harus menyelesaikan proses ini dan rasanya gak sanggup jika harus menangtri sekian lama. Akhirnya dengan persetujuan suami, kami tidak jadi mendaftar melalui jalur reguler/BPJS. Selesai sarapan jam delapan kami menuju klinik Anggrek, Rawat Jalan eksekutif di RS Hasan Sadikin. Disana saya mendaftar ke poli Bedah Onkologi, dr.Maman yang tempo hari juga memberi rujukan kepada saya dari Kliniknya di Apotik Papandayan.
Tidak lama mengantri saya mendapatkan nomer 45, sekitar 15 menit menunggu saya mendaftar ke bagian administrasi. Lalu dari sana, saya langsung ke kasir dan membayar biaya konsultasi dokter sebesar Rp 125.000. Baru kemudian saya menuju ruang periksa yang sudah lumayan penuh dengan pasien-pasien yang mau periksa. Pukul 9.30 dokter Maman datang, dan satu persatu pasien dipanggil oleh suster. Kondisinya mirip seperti saat saya mendatangi beliau ke Apotik papandayan, satu orang pasien bisa berkonsultasi antara 15-30 menit. Untungnya saya mendapatkan nomer empat sehingga tidak harus menunggu terlalu lama.
Didalam ruangan, bagian payudara saya gak diperiksa karena hanya konsultasi ringan terkait sakit saya hari senin lalu. Dokter menyarankan untuk mengurangi rasa sakitnya dengan paracetamol sambil memproses kelengkapan data untuk operasi. Lantas beliau merujuk saya untuk melakukan serangkaian pemeriksaan darah, rontgen dan meminta saya konsul ke klinik teratai tempat saya rawat jalan untuk pemeriksaan HIV. Baginya penting untuk mendapatkan persetujuan dari tim dokter di teratai, apakah saya boleh menjalani operasi atau tidak.
Karena waktu masih menunjukan pukul 10.30, saya langsung menuju klinik teratai dan mendaftar konsultasi dokter pada admin. Biaya berobat disini relatif murah, 25 ribu rupiah tidak begitu antri dan nyaman. Tanpa menunggu lama, 15 menit kemudian saya dipanggil dokter. Saya bercerita panjang lebar tentang kondisi saya dan hendak mendapatkan surat persetujuan dari Teratai untuk operasi. menurut dokter yang memeriksa saat itu, saya harus melengkapi berkas kesehatan saya terlebih dahulu, yakni rujukan pemeriksaan darah dan ronsen yang diberikan dokter Maman ditambah dengan pemeriksaan CD4 terbaru dan SVR hepatitis C (Survival Virologis Hepatitis C) pasca pengobatan saya bulan desember tahun lalu.
Selesai dari klinik teratai, saya duduk sejenak dan menghitung kira-kira kebutuhan biaya pemeriksaan. Totalnya hampir sekitar tiga juta rupiah, khususnya karena pemeriksaan HCV-RNA atau virologis Hepatitis C itu gak bisa dicover BPJS. Tapi kemudian saya menimbang-nimbang, untuk menggunakan kocek pribadi dulu untuk memeriksa semua. Baru nanti kemudian BPJS tersebut saya gunakan untuk operasi. Ditengah-tengah saya yang sedang sibuk menghitung, salah seorang kawan berkomentar di postingan saya hari itu tentang persiapan operasi dan BPJS.
Lalu saya mendapat informasi berguna, yakni BPJS gak akan mau mengklaim biaya operasi jika selama rawat jalan, tidak ada riwayat penggunaan BPJS. Saya sedikit menyesal kenapa saya gak mau bersabar sedikit pagi tadi, kenapa saya memilih ke poli eksekutif dan membayar. lalu kawan saya menyarankan, nanti setelah semua hasil pemeriksaan darah dan ronsen sudah ada, sebaiknya saya konsultasi ke dokter bedah dan anastesi seperti yang sudah diagendakan dokter Maman, menggunakan BPJS. Saya akan datang subuh hanya untuk mengambil nomer dan kembali pukul 7 untuk mengantri.
Sebelum pulang saya menuju laboratorium Prodia untuk melakukan pemeriksaan yang dirujuk oleh dokter Maman. Alasan yang sama jika ada pertanyaan, kenapa gak pakai BPJS untuk cek. Karena kondisi saya sedang tidak sehat, saya gak bisa menunggu lama karena akan semakin ambruk. Di prodia Jl. Wastu Kencana, saya biasa melakukan pemeriksaan darah. Harganya memang lebih mahal dari harga laboratorium di rumah sakit, tapi kenyamanan dan kecepatan pelayanannya memang yang kita bayar. Hari itu saya mengeluarkan uang sebesar satu juta empat puluh enam ribu rupiah (Rp 1.046.000,-), untuk beberapa pemeriksaan diantaranya Ronsen Thorax, Pemeriksaan daran Hematologi Rutin, Protombin, APTT, CD4, SGOT/SGPT dan Glukosa Sewaktu. Menurut petugas Prodia, hasil darah akan siap pada hari selasa atau rabu karena dipotong waktu libur sabtu dan minggu ini.
Dapat terasa sekali ya teman-teman, penggunaan BPJS memang gratis, namun karena tingginya akses kebutuhan pelayanan kesehatan yang begitu mengakibatkan lamanya proses administrasi BPJS tersebut. Jika kita punya uang, dengan sangat mudah kita bisa periksa dokter dan laboratorium sana sini, tanpa harus menunggu atau mengantri lama. Di tulisan selanjutnya, saya akan mengupdate proses persiapan operasi. Saya janji akan menjaga kesehatan dan lebih sabar menunggu, sehingga rujukan BPJS yang saya dapat dengan menempuh perjuangan panjang dapat digunakan. Mohon doa dan supportnya ya. Love you all!
Kamis, 2 Juni 2016, Akhirnya saya ke RS Hasan Sadikin. Harusnya saya kesini kemarinnya, hari rabu tanggal 1 Juni, karena ada beberapa pekerjaan yang harus dituntaskan di hari senin dan selasa di Jakarta. Tapi sayangnya, sepulang dari Jakarta saya sakit seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Dan hari kamis pun saya berangkat dengan lunglai, dan semakin lunglai saat tiba di RS Hasan Sadikin pada pukul 7 pagi. Antrian pendaftaran pasien rawat jalan reguler (yang menggunakan BPJS) sudah mengular. Tadinya suami menyarankan saya untuk menggunakan jasa calo nomer yang dia sudah dapat kontaknya dari salah satu kawannya, tapi sampai saya kemudian mengantri orang yang kami maksud tersebut tidak kunjung bisa dihubungi baik melalui sms atau telfon. Saya pasrah dan ikut mengantri.
Saya mendapatkan nomer 649, tubuh saya makin lemas karena belum sarapan. Lalu saya tanya sama satpam yang bertugas disana, kira-kira saya dengan nomer 600-an ini, saya akan mendapat giliran jam berapa, dia jawab sekitar pukul 10 dan itu berarti tiga jam lagi. Sambil sarapan saya berfikir keras, saya harus menyelesaikan proses ini dan rasanya gak sanggup jika harus menangtri sekian lama. Akhirnya dengan persetujuan suami, kami tidak jadi mendaftar melalui jalur reguler/BPJS. Selesai sarapan jam delapan kami menuju klinik Anggrek, Rawat Jalan eksekutif di RS Hasan Sadikin. Disana saya mendaftar ke poli Bedah Onkologi, dr.Maman yang tempo hari juga memberi rujukan kepada saya dari Kliniknya di Apotik Papandayan.
Baca ini juga : Mencari Solusi untuk si Fibroadenoma Mamae
Tidak lama mengantri saya mendapatkan nomer 45, sekitar 15 menit menunggu saya mendaftar ke bagian administrasi. Lalu dari sana, saya langsung ke kasir dan membayar biaya konsultasi dokter sebesar Rp 125.000. Baru kemudian saya menuju ruang periksa yang sudah lumayan penuh dengan pasien-pasien yang mau periksa. Pukul 9.30 dokter Maman datang, dan satu persatu pasien dipanggil oleh suster. Kondisinya mirip seperti saat saya mendatangi beliau ke Apotik papandayan, satu orang pasien bisa berkonsultasi antara 15-30 menit. Untungnya saya mendapatkan nomer empat sehingga tidak harus menunggu terlalu lama.
Didalam ruangan, bagian payudara saya gak diperiksa karena hanya konsultasi ringan terkait sakit saya hari senin lalu. Dokter menyarankan untuk mengurangi rasa sakitnya dengan paracetamol sambil memproses kelengkapan data untuk operasi. Lantas beliau merujuk saya untuk melakukan serangkaian pemeriksaan darah, rontgen dan meminta saya konsul ke klinik teratai tempat saya rawat jalan untuk pemeriksaan HIV. Baginya penting untuk mendapatkan persetujuan dari tim dokter di teratai, apakah saya boleh menjalani operasi atau tidak.
Karena waktu masih menunjukan pukul 10.30, saya langsung menuju klinik teratai dan mendaftar konsultasi dokter pada admin. Biaya berobat disini relatif murah, 25 ribu rupiah tidak begitu antri dan nyaman. Tanpa menunggu lama, 15 menit kemudian saya dipanggil dokter. Saya bercerita panjang lebar tentang kondisi saya dan hendak mendapatkan surat persetujuan dari Teratai untuk operasi. menurut dokter yang memeriksa saat itu, saya harus melengkapi berkas kesehatan saya terlebih dahulu, yakni rujukan pemeriksaan darah dan ronsen yang diberikan dokter Maman ditambah dengan pemeriksaan CD4 terbaru dan SVR hepatitis C (Survival Virologis Hepatitis C) pasca pengobatan saya bulan desember tahun lalu.
Selesai dari klinik teratai, saya duduk sejenak dan menghitung kira-kira kebutuhan biaya pemeriksaan. Totalnya hampir sekitar tiga juta rupiah, khususnya karena pemeriksaan HCV-RNA atau virologis Hepatitis C itu gak bisa dicover BPJS. Tapi kemudian saya menimbang-nimbang, untuk menggunakan kocek pribadi dulu untuk memeriksa semua. Baru nanti kemudian BPJS tersebut saya gunakan untuk operasi. Ditengah-tengah saya yang sedang sibuk menghitung, salah seorang kawan berkomentar di postingan saya hari itu tentang persiapan operasi dan BPJS.
Lalu saya mendapat informasi berguna, yakni BPJS gak akan mau mengklaim biaya operasi jika selama rawat jalan, tidak ada riwayat penggunaan BPJS. Saya sedikit menyesal kenapa saya gak mau bersabar sedikit pagi tadi, kenapa saya memilih ke poli eksekutif dan membayar. lalu kawan saya menyarankan, nanti setelah semua hasil pemeriksaan darah dan ronsen sudah ada, sebaiknya saya konsultasi ke dokter bedah dan anastesi seperti yang sudah diagendakan dokter Maman, menggunakan BPJS. Saya akan datang subuh hanya untuk mengambil nomer dan kembali pukul 7 untuk mengantri.
lima tabung darah yang diambil hari itu, lemesss... |
Sebelum pulang saya menuju laboratorium Prodia untuk melakukan pemeriksaan yang dirujuk oleh dokter Maman. Alasan yang sama jika ada pertanyaan, kenapa gak pakai BPJS untuk cek. Karena kondisi saya sedang tidak sehat, saya gak bisa menunggu lama karena akan semakin ambruk. Di prodia Jl. Wastu Kencana, saya biasa melakukan pemeriksaan darah. Harganya memang lebih mahal dari harga laboratorium di rumah sakit, tapi kenyamanan dan kecepatan pelayanannya memang yang kita bayar. Hari itu saya mengeluarkan uang sebesar satu juta empat puluh enam ribu rupiah (Rp 1.046.000,-), untuk beberapa pemeriksaan diantaranya Ronsen Thorax, Pemeriksaan daran Hematologi Rutin, Protombin, APTT, CD4, SGOT/SGPT dan Glukosa Sewaktu. Menurut petugas Prodia, hasil darah akan siap pada hari selasa atau rabu karena dipotong waktu libur sabtu dan minggu ini.
Dapat terasa sekali ya teman-teman, penggunaan BPJS memang gratis, namun karena tingginya akses kebutuhan pelayanan kesehatan yang begitu mengakibatkan lamanya proses administrasi BPJS tersebut. Jika kita punya uang, dengan sangat mudah kita bisa periksa dokter dan laboratorium sana sini, tanpa harus menunggu atau mengantri lama. Di tulisan selanjutnya, saya akan mengupdate proses persiapan operasi. Saya janji akan menjaga kesehatan dan lebih sabar menunggu, sehingga rujukan BPJS yang saya dapat dengan menempuh perjuangan panjang dapat digunakan. Mohon doa dan supportnya ya. Love you all!
Teh...semoga cepat sehat yah. Anak saya juga pernah operasi FAM, 6 thn yl. Blm cek lagi sih...Mudah2an kita selalu sehat yaa...Btw, kalo mo follow blog, tombol follownya yg mana? Maaf...baru ngeblog lagi sih...
BalasHapusAminnn, Terimakasih. Semoga prosesnya lancar ya mbak! kalau mau follow, mangga ada di bawah categories, di widget bagian kanan. tinggal insert email. Thanks for read my write ya mbak. Salam kenal :)
Hapus