sumber : pexels.com |
Sejak kecil, aku selalu tinggal berpindah-pindah tempat, mengikuti kedua orangtuaku. Awalnya, aku lahir dan besar di satu daerah di Jakarta. Menurut ibu-ku, itu kali pertama mereka mengontrak sebuah rumah, saat hanya tinggal dengan papa dan kedua putra-putrinya, saya dan kakak. Saat itu saya masih bayi, jadi saya tidak bisa mengingat apapun. Saya hanya dapat ber-imaginasi melalui cerita-cerita yang setiap hari di ingatkannya kepada kami sebelum tidur.
Lalu tidak lama setelah itu, kami sekeluarga pindah ke rumah nenek di daerah Kebayoran Lama. Nenek dan kakek saat itu, meminta kedua orangtuaku untuk tinggal disana karena rumahnya begitu luas, dan banyak kamar kosong. Masa kecil saya dihabiskan disana, di komplek Cipulir Permai. Menariknya, meski kami tinggal di tengah komplek elit yang rumahnya sangat besar, aku tidak banyak kenal dengan anak-anak yang tinggal di sebelah rumah. Aku memilih untuk berkawan dengan anak-anak yang tinggal di kampung dekat komplek itu, anak-anak yang tidak takut kotor, anak-anak yang senang main hujan-hujanan, dan siap pulang kerumah tanpa takut dimarahi kedua oragtua (meskipun mama ku marah sekali jika aku pulang dalam kondisi basah kuyup.
Kami tinggal di Kebayoran Lama cukup lama, sekitar 5 tahun, sampai akhirnya kedua orangtuaku memutuskan untuk membeli sebuah rumah di daerah yang cukup jauh, di Pamulang, saat itu masih masuk kedalam kota Jakarta Selatan. Aku cukup tersiksa disini, kenapa? karena jauh dari mana-mana. Kami yang biasa jalan pagi di senayan, atau ke bundaran hotel Indonesia untuk olahraga pagi. Sekarang harus menikmati main sepeda dari depan rumah di dalam komplek. Namun tinggal di Pamulang pun memberi ku kesan yang mendalam. Disanalah aku tumbuh dan menikmati masa-masa remaja ku.
Tinggal di Kota yang kemudian menjadi bagian dari pemekaran kota Tangerang dan akhirnya menjadi bagian dari provinsi Banten yang baru berdiri itu ternyata tidak terlalu buruk. Karena kemudian aku menjalani masa sekolahku sedari masa sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan atas. Disana aku mengenal kawan-kawan pertamaku, disana aku pertama kali mengenal persahabatan, dan disana aku pertama kali mengenal cinta.
Namun sayangnya, Jakarta yang sedari kecil menjadi tempat ku bermain, dan Tangerang Selatan yang menjadi tempatku bertumbuh, tidak lagi indah dan menyenangkan. Rumah semakin padat, kendaraan semakin banyak, bangunan bertingkat dan pertokoan semakin menjamur, sedangkan pohon dan tumbuhan hijau di sepanjang jalan hampir tidak bisa kulihat. Pukul 7 pagi udara sudah sangat panas, dan tidak begitu nyaman untuk berjalan kaki di tengah kota karena asap kendaraan yang menyesakkan paru-paruku. Aku mulai tidak betah disini.
Sejak tahun 1986 hingga 2014, 28 tahun lamanya aku bercokol di padatnya kota. menjalani pernikahan pertamaku, bergaul dengan kawan-kawan, bekerja dan beraktifitas, mencari hiburan dan segala macam hal aku lakukan disana, akhirnya akupun menyerah, aku mulai jenuh dan tidak bisa menikmati hidup. Setelah bertemu dengan Febby dan menikah kembali di tahun 2014, akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke Bandung.
Pagi ini, setelah 19 bulan resmi menjadi warga kota Bandung, ber-KTP Bandung, aku merasa jauh lebih baik, jauh lebih sehat dan jauh lebih bahagia. Menjalani kehidupan pernikahan baru, hidup dengan HIV selama 6 tahun, cukup menyulitkan diriku jika harus tetap tinggal di Jakarta. Karena setelah 28 tahun, baru kali ini aku merasa benar-benar bisa menghirup udara segar, dan menikmati langkahku berjalan. Taman-taman di bangun di sudut sudut dan tengah kota menjadi ruang terbuka bagi masyarakat agar dapat berkumpul dan berinteraksi satu sama lain.
Pepohonan yang hijau, bunga berwarna-warni, inovasi arsitektur yang menyihir kota Bandung menjadi ruang-ruang yang indah dipandang mata. Melangkahkan kaki pun takkan ragu, karena pedestrian yang terhampar di hadapan kami sangat aman dan terbebas dari pedagang kaki lima. Udara selama kita berjalan pun tidak akan mencekar sang paru-paru untuk bekerja. tempat sampah tersedia di sepanjang jalan, sehingga senantiasa mengingatkan kita untuk menjaga kebersihan lingkungan tempat kita tinggal dan beraktifitas. Putri semata wayangku pun, Malika bisa menikmati masa kecilnya dengan bahagia. karena Kota Bandung, adalah tempat tinggal yang membuat kami bahagia.
Pagi ini, setelah 19 bulan resmi menjadi warga kota Bandung, ber-KTP Bandung, aku merasa jauh lebih baik, jauh lebih sehat dan jauh lebih bahagia. Menjalani kehidupan pernikahan baru, hidup dengan HIV selama 6 tahun, cukup menyulitkan diriku jika harus tetap tinggal di Jakarta. Karena setelah 28 tahun, baru kali ini aku merasa benar-benar bisa menghirup udara segar, dan menikmati langkahku berjalan. Taman-taman di bangun di sudut sudut dan tengah kota menjadi ruang terbuka bagi masyarakat agar dapat berkumpul dan berinteraksi satu sama lain.
Salah satu pedestrian di kota Bandung |
Balaikota Bandung, yang biasa digunakan warga untuk berolahraga pagi di Hari Minggu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar