Rumah yang berisi kebahagiaan
Catatan 27 mei 2015
“Wah, kami sekarang sudah punya rumah sendiri.
Rumahnya besar, jendelanya tinggi, halamannya luas. Setiap kamar dilengkapi
dengan kamar mandi di bagian dalamnya. Banyak pepohonan rindang yang menyejukan
halaman rumah kami. Ada juga asisten rumah tangga dengan tanggung jawabnya
masing masing, ada yang bertugas di divisi memasak, ada yang khusus mengepel
dan menyapu lantai, ada yang menjaga anak anak. Tenang dan bahagia hati ini,
jadi kalau sudah punya rumah seperti ini, saya bisa tenang mencari uang dan bekerja.
Toh anak anak sudah ada yang urus. Saya juga bisa traveling sana sini. Yang
penting di rumah semua senang. Kebutuhan terpenuhi” sebuah curhat yang pernah
saya dengar dari seseorang yang kelihatannya dari ceritanya begitu bahagia
dengan apa yang mereka miliki. Rumah besar, lengkap dengan segala kebutuhannya.
Lantas apakah hal tersebut dapat menjamin sebuah kebahagiaan yang selama ini
dicari cari oleh semua orang. Dan kebahagiaan seperti apakah yang benar benar
dibilang bahagia?
Tulisan saya hari ini tidak bermaksud nyinyir
atau menyindir. Namun sebagai bentuk refleksi diri, tentang makna kebahagiaan.
Sejak kami kecil, saya serta kakak dan adik saya tinggal di rumah yang
sederhana. Dengan kemampuan ekonomi keluarga yang biasa saja, alhamdulilah ayah
dan ibu bisa membeli rumahnya sendiri setelah kami duduk di sekolah dasar.
Sebelum itu, kalau saya tidak salah dengar dari cerita mama, kami sempat
mengontrak rumah kecil di daerah Jakarta, saat saya masih bayi. Dan kemudian
tinggal di rumah milik kakek dan nenek setelah kami tumbuh sedikit lebih besar.
Dirumah rumah tersebut saya merasakan kebahagiaan, walau ayah dan ibu saya
bekerja, dan kami memiliki pengasuh, namun saya tidak kekurangan kebahagiaan.
Kini usia saya akan menginjak 29 tahun. Dengan
satu orang putri berusia 8 dan suami, kami tinggal di sebuah rumah sederhana,
milik orangtua suami. Rumah ini, tidak ada yang menempati sejak sang kakek dan
nenek meninggal dunia. Suami yang menjaganya, dan merawatnya. Maka kami
memutuskan untuk mengisi bagian rumah ini, dan menatanya layaknya rumah kami
sendiri. Rumah ini tidak besar, rumah yang dibangun pada jaman belanda ini,
telah mengalami banyak kerusakan. Sebelum kami pindah, saya dan suami
mengeluarkan uang yang lumayan jumlahnya untuk merenovasi lantai, tembok,
listrik dan lain lain, tujuan utamanya hanya satu, agar kami yang hidup
didalamnya merasa damai dan nyaman. Bulan Juni, menginjak tahun pertama kami
tinggal disini. Apakah kami bahagia? Dengan rumah yang bukan milik kami ini?
Rumah yang tidak besar, namun ternyata menampung seluruh kebahagiaan serta
mimpi mimpi kami. Ya kami bahagia.
Entah kenapa, kami selalu merasakan kebahagiaan
setiap kali berada di dalamnya. Mungkin karena, kami bertiga (saya, anak dan
suami), senantiasa menyempatkan diri untuk bercengkrama di rumah kecil yang
membahagiakan ini. Di tengah tengah padatnya aktifitas pekerjaan saya sebagai
seorang pengelola informasi (yang walaupun bekerja dari rumah), juga suami yang
sibuk dengan industry pakaiannya, serta anak dengan aktifitas sekolahnya. Kami
berusaha memiliki waktu bersama baik di dalam maupun dirumah. Makan bersama,
bercanda bersama, saling mendengarkan cerita satu sama lain.
Meskipun kini gadget, televise, laptop dan
barang barang tersebut mengisi ruang ruang kehidupan kami. Saya percaya bahwa,
komunikasi antar kami tidak menjadi terhalang, karena kami berupaya untuk terus
memprioritaskan keluarga, dibandingkan benda benda tersebut. Tantangannya tentu
banyak sekali. Mood yang sedang tidak baik, kondisi kesehatan yang naik turun,
gaji yang belum masuk, atau hal hal lainnya yang kadang bisa membuat semangat
kendur. Namun rumah berisi kebahagiaan ini selalu mengisi kembali ruang ruang
kosong tersebut, ruang ruang yang penuh kelelahan dan rasa sakit. Saya memang
selalu bermimpi memiliki rumah sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami
sendiri. Dengan kebun dan halaman dimana kami bisa membuka tikar dan berpiknik
di bawah sinar mentari, dengan area terbuka yang menampung lebih banyak cahaya
matahari. Tapi, penantian tersebut akan kami isi dengan kebahagian. Kebahagiaan
kecil yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit.
Rumah berisi kebahagiaan ini menjadi saksi,
perjalanan saya dan keluarga yang terdampak oleh HIV AIDS. Meskipun rumah ini
memiliki saya yang hidup dengan HIV, tapi rumah ini jauh dari stigma dan
diskriminasi. Rumah yang hangat dan penuh penerimaan. Rumah yang sehat dan
mengakomodir perasaan perasaan yang jatuh, dan dibangkitkan oleh
kebahagiaan. Di hari ke dua puluh saya
menjalani terapi ARV lini ke 2, saya merasa bersyukur dapat menjaga rumah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar