Ada sesuatu tentang
kematian yang gak pernah bisa cukup diungkap dengan kata kata. Ada kalanya ini
akan menjadi kata yang menakutkan dan menyediahkan setiap insan. Atau sesuatu
yang kemudian menyadarkan seseorang bahwasannya hidup ini hanyalah sementara. Kehidupan
paling nyata adalah kematian itu sendiri. ini adalah tulisan kesekian saya
tentang kematian, setelah saya kehilangan kembali seorang sahabat.
Begini ceritanya. Namanya
Aziz. Saya biasa memanggilnya aa, itu karena usianya yang sangat jauh dari usia
saya. Aa yang adalah anak ke 8 dari 9 bersaudara merupakan pribadi yang sangat
baik dan ramah. Aa selalu menjadi tempat yang menyenangkan untuk bercerita dan
bercengkrama. Saya mengenal aa karena kami sama sama hidup dengan HIV. Kelompok
dukungan sebaya mempertemukan kami. Aa seringkali memberikan saya penguatan
untuk selalu bersemangat menghadapi kehidupan. 9 tahun hidup dengan HIV tidak
menyurutkan semangatnya untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik.
Aa masih sempat
menghadiri pernikahan saya. Kami juga masih sempat bertemu di Bandung saat
Rumah cemara mengadakan kegiatan lari. Sayangnya kami tidak pernah berfoto
bersama. Sekalipun tidak pernah. Sejak tahun 2010 saya mengenalnya, bekerja
bersama dan menjadikan telinga kami untuk saling bercerita. Tapi say atidak
punya foto bersama aa.
Sampai suatu hari saya
dengar aa sakit. Sakitnya serius. Sampai dia harus berbaring dirumah dan tidak
melakukan aktifitas apapun. Saya berinisiatif untuk menelfonnya dan menanyakan
kabarnya. Saat itu hampir pukul setengah 12 malam. Dia berbicara banyak. Saya
mendengarkan dan menjawab saat dia bertanya. Berkomentar saat dibutuhkan. Dan
kemudian juga bercerita balik padanya karena dia bertanya. Dia benar benar
sakit. Aa bilang, jarak terjauh dia berjalan hanya dari kamar ke kamar mandi.
Dia sudah tidak sanggup mengendari motor vespa kesayangannya. Dia sudah tidak
bisa pergi kerumah sakit sendirian. Saya sedih mendengarnya. Dia bilang dia
lelah. Dia berkali kali bertanya, menurut saya apa yang terjadi padanya. Saya
bilang saya tidak tahu, kamu lebih baik tanya pada dokter. Saya takut salah
memberikan pendapat, karena saya bukan dokter dan tidak bisa memberikan
diagnosa. Akhir pembicaraan kami tutup dengan candaan dan pesan untuk saya
supaya selalu menjaga kesehatan.
Kontak selanjutnya
terjadi 2 minggu setelahnya. Kami berkirim pesan melalui whatssap messenger. Aa
bertanya mengenai literatur obat. Dia bertanya lebih detail tentang efek
samping obat. Saya yang geregetan kemudian memutuskan untuk menelfonnya. Saat
itu pukul 5 subuh. Dia bertanya sudahkah saya shalat subuh. Saya tersenyum dan
menjawab sudah. Lalu kami melanjutkan pembicaraan. Suaranya lebih lemah dari
pembicaraan kami ditelfon terakhir. Saya bilang dia harus segera kembali ke
dokter. Dia bilang dia lelah. Terlalu lama menahan banyak kesakitan. Saya
bilang saya sedih jika dia kehilangan semangat seperti itu.
Beberapa hari kemudian aa
masuk rumah sakit. Saya tahu setelah dia 2 hari sudah dirawat disana. Saya
menangis melihat fotonya di facebook. Dia terlihat sangat kurus. Hanya tulang
berbalut kulit. Saya menangis di kantor memandangi laptop saya dan halaman
facebook yang kemudian ramai. Saya memutuskan untuk berangkat kerumah sakit
keesokan harinya. Saya tidak menangis. Saya berjanji pada diri saya untuk tidak
menangis. Aa sudah tidak bisa berfikir. Kata yang keluar dari mulutnya adalah
apa yang ada di alam bawah sadarnya. Dia tidak merencanakan atau memikirkannya.
Tapi kata kata itu begitu saja keluar. Saat itu aa masih bisa tertawa. Saat
diingatkan akhirnya dia bisa mengenali satu persatu teman yang datang. Tapi
kondisinya menyedihkan. Yup, membuat saya sedih.
Beberapa hari kemudian
saya kembali ke rumah sakit. Saya bertanya tentang hasil ct scan nya. Dokter
bilang, virus toksoplasmanya sudah membuat pangkalan udara di otak. Bagian otak
kanannya sudah mengalami pembengkakan dan itu bisa sangat membahayakan
nyawanya. Rambut, alis mata dan mulut bagian luar dan dalam sudah penuh jamur.
Aa saya sedih. Saya bertanya kepada keluarga apa saja obat yang diberikan oleh
rumah sakit, apa saja tindakan yang sudah dilakukan dokter. Mereka semua tidak
paham. Terlalu medis katanya. Ah saya sebal. Saya berharap bisa menjaga aa.
Tapi itu tidak mungkin. Sebelum memutuskan untuk pulang. Saya usap kepalanya
dan saya berbisik. “a,dokter sudah memberikan obat. Mereka semua berjuang
dengan cara mereka untuk ngembaliin kondisi lu. Lu juga berjuang ya a. Gw juga
berjuang a. Gw berdoa dan minta sama Tuhan yang terbaik buat lu.” Lalu dia
mengenggam erat tangan saya. Lalu saya menangis dalam pulang saya.
Ternyata itu adalah kali
terakhir saya bertemu dengan aa. 2 hari setelah saya datang, Jumat 30 Mei 2014,
pukul 11 siang aa meninggal. Saya saat
itu sedang dalam perjalanan menuju jakarta dari bandung. Saya tidak bisa
berkata kata. Saya sedih tidak bisa mengantar aa hingga peristirahatan
terakhirnya. Saya menangis sepanjang perjalanan dan tertidur karena kelelahan.
Malamnya, selesai semua urusan pekerjaan saya di Jakarta, saya memutuskan untuk
ke Cipete. Menuju rumah aa. Saya mau bertemu emak. Memeluk dan mencium
tangannya. Tangan ibu yang sudah merawat putranya lebih dari 30 tahun. Saya
tahu saya tidak lagi akan menjumpai aa dirumah tersebut.
Gang Damai No III Cipete.
Rumah itu sangat ramai. Banyak sanak keluarga yang berkumpul dan bercerita satu
sama lain. Ada hal baik lain yang saya dapat dari sebuah kematian. Bahwa
kematian bisa mengumpulkan energi positif dari sebuah keluarga, mengumpulkan
mereka dan mengajak semua bercerita tentang hal hal baik yang terjadi dalam
hidup si mati. Saya merasakan atmosfir
keluarga yang mencintai aa. Saya tidak banyak bercerita. Saya bahkan tidak
cerita bahwa saya mimpi. Saya mimpi sedang berbincang dengan aa dan dia bilang
dia ingin shalat jumat. Dan itu adalah jumat terakhirnya.
Saya juga terharu dan
bahagia. Saat salah satu kerabat mengatakan. “nanti kalau aa kenapa kenapa
tolong bilangin sama 3 orang ini kondisi aa. Mereka adalah sahabat yang selalu
dengerin aa dalam susah ataupun senang.” 3 orang itu kemudian adalah ombuds,
endy dan saya. Saya menitikan air mata dan tersenyum. Alhamdulilah kalau aa
menganggap hubungan kami memiliki makna. Persahabatan ini akan selalu saya
kenang dan akan saya ceritakan pada anak cucu kelak. Saya akan sampaikan bahwa
ada sahabat yang berjuang melawan AIDS selama 9 tahun hidupnya. Dan meninggal
dalam damai, bukan dalam kehinaan. Dia wafat sebagai seorang yang sangat saya
banggakan karena kebaikan hatinya dalam persahabatan. Al fatihah Muhammad Aziz
Akbar. I love you brother!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar