When will I see you again? You left with no goodbye,
Not a single word was said, No final kiss to seal any sins,
I had no idea of the state we were in..
(Adelle, Don't You Remember)
Yogyakarta, 29 Januari 2013
dinding ruangan ini begitu lembab. dingin dan angkuh. warna-nya yang sudah pudar memandang sinis terhadapku pendatang yang hanya numpang. kasurnya berdecit seperti tikus saat saya berbaring diatasnya. suara anak kecil dengan bahasa jawa kental terdengar di kamar samping seperti sedang bertengkar memperebutkan sesuatu. suara minyak panas dari wajan yang sedang memasak sesuatu terdengar jelas di samping sisi dinding lainnya. Selamat datang di Sosrowijayan.
Saya, perempuan dengan koper hitam yang tidak terlalu besar melangkah masuk ke gang sempit di daerah kecamatan Gedong Tengen. Menggunakan celana pendek kesayangan dan kaos hitam serta sepatu kets. semua orang memandangi saya berjalan, langkah tiap langkah. Ibu Sarmi yang mengantar saya masuk ke dalam rumah berkali kali meminta maaf jika tempat saya tinggal nanti sangat sederhana, maaf atas ketidaknyamanan dan maaf maaf lainnya.
Tepat seperti apa yang bu Sarmi bilang. kini saya berbaring di atas kasur, dalam kamar ukuran 2 x 4 Meter, pengap dan berbau apek. tapi badan yang sangat letih setelah perjalanan menggunakan kereta api selama 8 jam, memaksa saya untuk memejamkan mata bagaimanapun kondisinya. pukul 9 pagi saya tertidur di kamar baru saya. kamar yang biasa digunakan transaksi seks area pasar kembang.
Pukul 11 saya terbangun karena terdengar suara gaduh anak anak kecil berlari dan berteriak dari luar kamar. tidur 2 jam cukup menyegarkan badan, pulas juga tidur saya. ternyata saya nyaman berada di sini. mengingat berbagai kegiatan akan dimulai pada pukul 1, saya pikir sekarang waktunya membersihkan diri. saya menyiapkan perlengkapan mandi dan handung yang saya sudah selempangkan di leher. Namun langkah saya terhenti. sempat terfikir untuk tidak jadi mandi. memutuskan untuk baiklah, tidak mandi hari ini tidak apa. tapi lalu saya mencium bau masam di sekujur tubuh yang berkeringat dan lengket setelah seharian di kereta dan tidur. apa yang membuat saya enggan untuk mandi.
Saya sebut itu ruangan ruangan. area besar yang diberi tembok pembatas yang memisahkannya menjadi 4 bagian. tidak ada ubin keramik berwana didalamnya, semua hanya semen. termasuk dinding, lantai dan bak airnya. suara air bersaut sautan dari setiap kamar. pintu sengnya akan berderik bila dibuka tutup. hanya ada 1 lampu bohlam kuning kecil 15 watt di luar bagian, sehingga are yang disebut kamar mandi itu terasa tangan temaram. ada satu bagian lagi yang menjadi kakus, terpisah. dan itulah.. saya kehabisan kata untuk mendeskripsikan kamar yang digunakan untuk mandi tersebut. namun karena terpaksa, ya saya memutuskan untuk mandi. dengan perasaan was was dan tidak tenang. ini kali pertama saya mandi dalam waktu kurang dari 5 menit.
23.00 WIB
langkah kami memasuki area yang jalannya berbatu. daerah di sepanjang rel kereta api dekat stasiun. di sepanjang pinggiran rel yang hampir tidak ada penerangan tersebut. berjejerlah warung warung kecil. menurut keterangan yang saya dapat jumlahnya kurang lebih ada 26 warung. ramai sekali tempat ini. banyak pemuda yang bediri di pinggiran rel, dan duduk duduk menikmati kopi dan bercengkrama dengan beberapa perempuan.
Salah satu area prostitusi yang sudah sejak tahun 76 ada. tempatnya memang gelap, bisa dibilang sangat berbahaya dan mengancam nyawa karena berada di jalur berjalannya kereta api. namun tempat ini sangat ramai. dan kami duduk di salah satu warung bersama sama. Oleh sang ibu, kami disajikan beberapa gelas air mineral kemasan, dan makanan ringan di piring. lalu kami berbincang tentang banyak cerita seputar ngebong.
"disini.. kami ada kelompok namanya Arum Dalu Sehat (ads), bahasa indonesianya bunga malam sehat. anggota kami yang terdata sebanyak 98 orang perempuan pekerja seks (pps). kalau selain yang di sekitar sini, ada banyak, semua tinggal di luar wilayah. ada banyak jumlahnya, mereka biasanya datang sore hari.. kerja lalu pulang besok paginya."
Ibu yang sesekali tersenyum di sela ceritanya. bercerita dengan lancar tanpa gugup. parasnya yang tinggi semampai, dengan sedikit keriput di sudut sudut mata. tidak menghilangkan pesona kecantikannya yang dulu kabarnya pernah menjadi kembang di wilayah sini. kini Ibu hanya berjualan di warung miliknya, menjajakan kopi atau makanan kecil. tinggal dan tidur juga di warung miliknya bersama 1 orang cucu laki-lakinya, kemudian melanjutkan ceritanya.
"kami disini punya outlet kondom. KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) rutin memantau dan memonitoring penggunaan kondom di wilayah ini. mereka memberikan kondom laki-laki dan perempuan. tapi kondom perempuang kurang laris. gak enak katanya dipakainya. kembali ke Ads ya, kami disini punya banyak kegiatan mulai dari belajar berorganisasi, sosialisasi rutin mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. kami juga punya arisan, ada lotre dan uang kas kotak, semuanya berfungsi jika sewaktu waktu anggota kami ada yang membutuhkan uang atau bantuan kesehatan. jadi bisa bantu bantu, ga banyak tapi cukup membantu. kami punya pertemuan rutin 1 bulan 1 kali, setiap tanggal 15. sekali datang ramai sekali, bisa 50 sampai 60 orang, tapi pasti datang. mereka komitmen dengan kelompok."
di tengah tengah cerita sesekali ibu berhenti bercerita karena ada kereta api yang lewat persis di atas kami, dan suaranya bisa mengalahkan suara bincang bincang kami. tempat ini sangat berbahaya, batinku dalam hati. bagaimana jika ada pemuda atau pekerja yang tidak melihat tanda kereta api akan lewat. nyawa taruhannya. lalu ibu kembali bercerita tentang keamanan yang tidak terjamin di wilayah Ngebong ini, seperti razia rutin yang dilakukan aparat keamanan. menangkan teman teman pekerja seks, biasanya mereka akan masuk ke persidangan dan kena denda sekitar 150 ribu lalu kembali dilepas. entah kenapa, hanya berputar putar seperti itu. seperti sumber uang aparat. tapi tak jarang juga sebelum razia berlangsung, ada bisik bisik yang sampai ke teman teman di daerah Ngebong, sehingga mereka bisa segera menyelamatkan diri sebelum tim razianya datang. polemik prostitusi yang berkepanjangan ini sudah berlangsung sejak dahulu, sebelum saya lahir. dan masih berlangsung hingga kini.
Sosrowijayan, 30 Januari 2013
Saya terbangun kesiangan karena sangat lelah. hujan yang mengguyur Sarkem semalam membuat tidur saya pulas. semalam kami selesai ngobrol sekitar pukul 12 malam. pertemuan dengan Ibu dan kunjungan saya ke tempat semalam membuka mata hati saya, ada dunia lain yang tidak pernah saya ketahui. banyak orang yang tidak tahu dan tidak mau peduli tentang itu semua. lalu hujan pun mengguyur Yogyakarta, kami berlari pulang. dan saya terkesima setibanya saya di sarkem..
saat saya datang, gang sempit ini sangat sepi. hanya ada beberapa anak kecil berlarian. ada ibu ibu berambut putih dengan daster mereka menjajakan sayuran, atau makanan. dan malam tadi, rumah rumah yang sangat sepi berubah menjadi ramai. lampuyang padam di pagi harinya berganti dengan kerlap kerlip warna warni di sana sini. beberapa rumah terbuka menjadi tempat karoke. para perempuan cantik yang menggunakan celana super pendek dan tanktop atau kaus ketat, berjejer manis di depan rumah di sepanjang gang di Sosrowijayan yang akrab di sebut Area Pasar Kembang. Jika ada yang pernah berkunjung ke dolly di daerah Surabaya atau Patpong, Thailand. Malam itu Pasar kembang sangat semarak, persis seperti daerah prostitusi sekelas pat pong. Terperangah dan kaget dengan perbedaan situasi yang semalam saya lihat di Ngebong. tak bisa berkomentar, tak bisa banyak bicara. dan pagi harinya saya bangun dengan sejuta pikiran yang tidak bisa saya pecahkan sendiri.
Hari terakhir, 31 Januari 2013
Pertemuan dengan Ibu Sarmi Koordinator Perhimpunan Perempuan Pekerja Seks Yogyakarta (P3SY) membuat hati saya terenyuh. Perempuan separuh baya menggugah perhatian dan hati nurani saya.
Ditemukan bahwa terdapat
banyak sekali permasalahan terkait isu prosititusi di Indonesia. Bahwa
Indonesia yang pemerintahannya belum memberikan UU terkait perlindungan
terhadap pekerja seks. Belum adanya penerimaan masyarakat seperti tokoh agama,
social dan aparat terkait isu Prostitusi ini. Disamping itu teman teman pekerja
seks mengalami berbagai macam persoalan. Menurut Ibu Sarmi dan teman teman, dengan berbagai latarbelakang, keberadaan
mereka disana ialah pilihan rasional yang paling mungkin dilakukan. Karena mereka menggantungkan harapan,mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Mereka berharap kelak dapat kembali di tengah masyarakat.
Penelitian PKBI DI Yogyakarta dan P3SY di Sarkem, 61,3% Pekerja Seks
mengalami kekerasan mulai dari fisik,psikis,seksual dan ekonomi. Pelaku kekerasan diantaranya pembeli seks,aparatur pemerintah saat
razia dan pasangan pekerja seks itu sendiri yg menjadikan mrk mesin atm. Disamping itu, disamping berbagai macam
persoalan yang ada Mereka juga sering mengadakan
penguatan ketrampilan dan wacana gerakan PPS dalam penanggulangan HIV AIDS. P3SY
memiliki sekolah sore yg diadakan 2 minggu sekali. Sekolah yg
mengembangkan kebutuhan informasi mereka. Dari hasil pengelolaan perbedaan didapat bahwa para perempuan pekerja
seks ini mengharapkan dapat alternative pekerjaan lain selain menjadi pekerja
seks. Ingin kembali diterima di Masyarakat dan kembali menjadi ibu rumah tangga
bagi keluarganya. Namun hal yang mungkin saat ini adalah bagaimana cara
mengupayakan perlindungan bagi pekerja seks.
Fenomena ini bukan hal yang baru. Tapi sejak jaman penjajahan, isu prostitusi
sudah ada di bumi pertiwi. tapi seperti yang kita tahu pemerintah jelas tidak melegalkan prostitusi
di Indonesia. bagaimana agar beberapa pihak seperti pemerintah
dan dinas sosial mulai melakukan
pengembangan ekonomi bagi
perempuan pekerja seks. Agar mereka mendapat kesempatan lain untuk
bekerja diluar isu prostitusi. Bagaimana juga caranya supaya Masyarakat belajar berkomunikasi dengan baik kepada
pasangan masing masing tentang kebutuhan seksual mereka. Agar prostitusi tidaklah menjadi pilihan. Buat saya Ini bukan tanggungjawab perempuan pekerja seks nya saja, pelanggan ataupun pemerintah.. tapi
tanggungjawab semua, termasuk saya. Sepert Isu HIV, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender).. selama ini orang berfikir ini bukan masalah saya, ya
buat apa saya tau. Padahal saat anda memutuskan tidak peduli, saat itulah
isu dan masalah ini semakin besar dan tidak akan selesai.
Apa yang bisa dilakukan saya dalam Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah mulai menggaungkan
permasalahan yang terjadi di seputaran isu prostitusi. Bagaimana si PPS selama
ini hidup, kekerasan seperti apa yang seringkali mereka dapat dari masyarakat,
dan mengumpulkan opini dan menyelaraskan perbedaan yang timbul di masyarakat.
Social media menjadi salah satu cara alternative membagikan informasi ini.
Seperti mengkolektifkan tulisan dan cerita dari PPS situ sendiri dan IAC
berperan untuk membagikan cerita nya dan mengumpulkan pandangan dari masyarakat.
Perjalanan pulang membawa bekal yang lebih banyak dari tanah penuh keramah tamahan, Yogyakarta membawa pikiran saya melayang tentang apa yang harus kita lakukan, dan mulai dari mana..