sebuah ungkapan hati di waktu subuh.. menulis menemani santap sahur saya.
bismillah, mohon curhat tentang kematian..
Setiap manusia yang dilahirkan selalu mempunyai arti dalam tujuan kelahirannya. telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta. Walaupun dalam praktiknya manusia suka merubah makna dan membentuk jalur kehidupannya sendiri yang akan berkembang seiring dengan pertumbuhan sang manusia dan terpengaruh oleh masyarakat, adat dan budaya. Manusia pun sadar bahwa ia terlahir untuk mencapai kehidupan abadi, yakni kematian. lalu bagaimana manusia ini kembali menyadari bila kehidupannya yang abadi bukanlah kehidupan melainkan kematiannya. membahas kematian hanya akan membuat manusia menyangkal akan kehidupannya yang lebih nyata. manusia bisa menangis dan bahkan menolak bila esok dia mati. bila menanyakan saya? begitupun saya. Kematian yang jelas kita tahu, dan kita sadar bahwa sifatnya abadi ini tak terelakkan hakikatnya.
ini kutipan yang saya ambil dari Tulisan Quraish Shihab
Manusia, melalui nalar dan pengalamannya tidak mampu mengetahui hakikat kematian, karena itu kematian dinilai sebagai salah satu gaib nisbi yang paling besar. Walaupun pada hakikatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak diketahui, namun setiap menyaksikan bagaimana kematian merenggut nyawa yang hidup manusia semakin terdorong untuk mengetahui hakikatnya atau, paling tidak, ketika itu akan terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika ia pun pasti mengalami nasib yang sama. Manusia menyaksikan bagaimana kematian tidak memilih usia atau tempat, tidak pula menangguhkan kehadirannya sampai terpenuhi semua keinginan. Di kalangan sementara orang, kematian menimbulkan kecemasan, apalagi bagi mereka yang memandang bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja. Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilai kehidupan ini sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu, mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan menghindari sedapat mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan jalan melakukan apa saja secara bebas tanpa kendali, demi mewujudkan eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari segala sesuatu? Kilah mereka. Sebenarnya akal dan perasaan manusia pada umumnya enggan menjadikan kehidupan atau eksistensi mereka terbatas pada puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa mereka harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia bukan berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian sebagai kepunahan tercermin antara lain melalui penciptaan berbagai cara untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya, dengan menyediakan kuburan, atau tempat-tenapat tersebut dikunjunginya dari saat ke saat sebagai manifestasi dari keyakinannya bahwa yang telah meninggalkan dunia itu tetap masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.
Musthafa Al-Kik menulis dalam bukunya Baina Alamain bahwasanya kematian yang dialami oleh manusia dapat berupa kematian mendadak seperti serangan jantung, tabrakan, dan sebagainya, dan dapat juga merupakan kematian normal yang terjadi melalui proses menua secara perlahan. Yang mati mendadak maupun yang normal, kesemuanya mengalami apa yang dinamai sakarat al-maut (sekarat) yakni semacam hilangnya kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad. Dalam keadaan mati mendadak, sakarat al-maut itu hanya terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa sangat sakit karena kematian yang dihadapinya ketika itu diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada dalam kapas, dan yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras) (QS An-Nazi'at [79]: 1), sebagai isyarat kematian mendadak. Sedang lanjutan ayat surat tersebut yaitu Wan nasyithati nasytha (malaikat-malaikat yang mencabut ruh dengan lemah lembut) sebagai isyarat kepada kematian yang dialami secara perlahan-lahan.3 Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang dinyatakan oleh ayat di atas sebagai "dicabut dengan lemah lembut," sama keadaannya dengan proses yang dialami seseorang pada saat kantuk sampai dengan tidur. Surat Al-Zumar (39): 42 yang dikutip sebelum ini mendukung pandangan yang mempersamakan mati dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa yang diajarkan Rasulullah Saw. untuk dibaca pada saat bangun tidur adalah: "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan (kelak)."
Di sisi lain, manusia dapat "menghibur" dirinya dalam menghadapi kematian dengan jalan selalu mengingat dan meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak seorang pun akan luput darinya, karena "kematian adalah risiko hidup."
Keyakinan akan kehadiran maut bagi setiap jiwa dapat membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam kegembiraan, semakin besar pengaruh kegembiraan itu pada jiwa; sebaliknya, semakin banyak yang tertimpa atau terlibat musibah, semakin ringan musibah itu dipikul."
Kehilangan dan menghadapi kematian
membuat kita manusia dewasa ini untuk berfikir. bahwa Kehidupan adalah
tempat untuk mencari bekal menuju kematian. Melihat banyak kematian
kadang membuat saya sedih. apa yang saya siapkan untuk kehidupan abadi
saya. apa yang sudah saya siapkan untuk berkumpul dengan keluarga saya
di kehidupan abadi bernama kematian itu.
Abet, Mas Adi, Ibu dan Bapak, Eyang
kakung dan Eyang Uti, sahabat sahabat yang meninggal dengan HIV,
keluarga yang meninggal karena sakit atau kecelakaan. mereka yang sudah
sampai ke dalam kehidupan abadi mereka. ingin bertanya pada mereka,
Bagaimana kehidupan setelah kematian..
Apakah dengan mengingat Kematian setiap saat membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dalam mempersiapkan sang kematian itu? Seharusnya iya! jangan menjadi momok di dalam hati dan menghancurkan segala aktifitas dengan kegundahan tentang kematian. Lalu saya bertanya kepada saya? apakah saya sudah siap. belum. apakah saya sudah menyiapkan kematian saya? belum.
sungguh saya menangis menulis ini. bukan kemampuan hebat dapat mengutarakan isi hati perihal kesiapan kematian. melainkan semakin hari semakin berfikir setiap kali kematian datang menjemput manusia lainnya. kematian tidak memandang usia, jenis kelamin, pangkat dan kedudukan. dosa atau pahala siapa yang lebih banyak, jika kematian sudah siap hadir menjemput, datanglah dia. Semoga kita semua menjadi bagian dari orang orang yang mati dalam keadaan yang baik. semoga kematian kita tidak menimbulkan kebencian dari orang orang yang kita tinggalkan. semoga proses kematian kita tidak menyusahkan ayah dan ibu kita, sahabat dan saudara saudara kita.
Dear Death..
*pict from google
Seharusnya manusia jangan pernah mempermasalahkan bagaimana cara ia mati, tetapi bagaimana ia menjalani kehidupan ini agar layak mati .. ;)
BalasHapusbetul.. saya sepakat.
BalasHapusmari mempersiapkan diri untuk bertemu kematian yang baik.. :')